Kerinduan Pemilik Dua Kain kepada Rosulullah

Alkisah, di zaman Baginda Nabi Muhammad Saw hidup seorang laki-laki yang dijuluki Dzul Bijadain, artinya Si Pemilik Dua Kain. Beliau tinggal di pinggiran kota Mekkah, bukan di kota Mekkahnya. Beliau tinggal di daerah dimana daerah tersebut warganya sangat membenci Rosulullah. Sebaliknya dengan beliau, rasa rindu dan cinta kepada Sang Junjungan Nabi telah lama berkecamuk dalam dadanya. Rindunya begitu teramat pada Rosulullah. Melihat kondisi warga sekitarnya membenci Rosulullah, ditambah rasa rindunya, maka beliau pun berniat untuk hijrah ke Madinah tempat Rosulullah tinggal saat itu.

Laki-laki ini adalah orang kaya. Beliau mempunyai tanah, pertokoan, rumah dan masih banyak yang beliau miliki. Namun, beliau rela meninggalkan semuanya untuk berhijrah ke Madinah. Beliau membawa perbekalan yang bisa dibawa. Beliau membawa uang, makanan, pakaian, onta dan perlengkapan lainya, yang sekiranya cukup untuk bekal perjalanan beliau ke Madinah yang cukup jauh. Setelah mengemas perbekalan selesai, beliau memantau keadaan luar, jangan sampai warga tahu. Jikalau tahu pasti akan diinterogasi dan lebih parahnya dicegah. Beliau pun mengendap-endap sedikit demi sedikit, sampai bisa keluar dari daerah tersebut. Rasa lega menyejukan hatinya karena bisa keluar tanpa diketahui. Berlanjutlah perjalanan dengan hati tenang dan gembira membayangkan segera bertemu Rosulullah di Madinah.

 

Di tengah perjalanan, beliau bertemu sekitar empat atau lima orang dari daerahnya, lalu mereka menginterogasi.

“Mau kemana kau?”

“Aku mau ke suatu daerah”

“Kemana?”

“Ke sana ke suatu daerah”

“Pasti kau mau berhijrah ke Madinah”

setelah berkelat, lalu beliau pun mengakui jika hendak ke Madinah, tetapi mereka mencegah “pulang saja kau, cepat pulang saja” dengan nada membentak.

Beliau kecewa dan rasanya berat sekali, padahal sudah bermekaran hatinya bisa keluar dari kotanya. Beliau tak menyerah, karena sangking rindunya, beliau bernegoisasi agar tidak dicegah ke Madinah.

“Hei kalian, tidak ada untungnya untuk kaian aku pulang atau tidak. Keadaanya kalian akan sama saja seperti hari biasa, tetapi jika kalian melepaskan aku hijrah ke Madinah, hartaku akan kutinggalkan di sana. Kalian bisa pulang dan mengambil semuanya, ada toko, rumah, tanah dan yang lainya” kemudian para pencegat ini berunding,

“Sebentar kami berunding dulu”, setelah selesai berunding mereka menghasilkan keputusan yang keji

“Ya, kami terima tawaranmu, asalkan apa yang kau bawa juga untuk kami”, Beliau ingin segera hijrah dan tidak ingin berkelat, maka beliau menyetujui tawaran tersebut. Perbekalan uang, makanan, pakaian semua diberikan.

“Untamu juga kami ambil”, sekali lagi beliau tak mau berkelat agar segera melanjutkan perjalanan sehingga diturutilah permintaan mereka. Kejamnya lagi setelah semua diberikan, beliau dilucuti pakaianya sampai hanya tersisa dua kain penutup aurat dari pusar hingga lutut. Beliau hanya memakai dua kain tanpa perbekalan apapun.

Beliau melanjutkan perjalanan panjangnya dengan kondisi ala kadarnya. Tak ada minum, makan, bahkan beliau jalan kaki karena onta pun tak ada. Hanya dua kain penutup aurat yang menemani perjalanannya. Perjalanan Mekkah – Madinah saja seperti Surabaya – Jakarta, beliau menempuh dengan jalan kaki berhari-hari. Jika menemukan sumur, beliau minum sebanyak-banyaknya untuk menguatkan diri. Jika menemukan perkampungan beliau meminta makanan atau meminta susu untuk menyambung ruhnya. Prinsipnya, beliau harus kuat sampai bertemu Rosulullah. Dua kain yang dikenakan tak lagi berwarna, kumal, dan kotor. Tubuhnya sudah tidak karu- karuan.

Sampailah beliau masuk di kota Madinah. Beliau sangat bergembira akhirnya sampai pada kota tempat tinggal Rosulullah yang sangat dirindukan. Namun beliau bingung karena tidak ada yang beliau kenal, tidak tau tempat dan tidak tau daerahnya. Dalam hatinya bertanya,

“Dimana tempat Rosulullah, bagaimana aku bisa berjumpa denganya, bagaimana Rosulullah mau bertemu dengan saya dengan keadaan seperti ini?”

Rasa rindu yang membuncak membuatnya terus maju. Beliau terus mencari tempat Rosulullah. Beliau bertanya ke siapa saja yang ditemuinya.

*****

Rosulullah sedang berada di Masjid bersama para sahabat. Beliau akhirnya sampai di gerbang Masjid tempat Rosulullah berada. Rosulullah selalu tahu, siapa yang begitu merindukannya, karena rasa itu juga ada di dalam hati Rosulullah melebihi sang perindunya. Rosulullah sudah mengetahui perjuangan beliau dari bisikan malaikat. Maka Rosulullah langsung keluar, berjalan bahkan setengah berlari menyambut kedatangan beliau. Setelah dekat Rosulullah berseru menyambut dengan wajah gembira dan penuh suka cita.

Ahlan wa sahlan wa marhaban ya dzul bijadain ( Selamat datang wahai pemilik dua kain ), aku telah mendengar kabar tentang perjuanganmu untuk sampai ke sini”, Seru Rosulullah.

Dzul Bijadain yang adalah laki-laki tadi, gembira tak terkira, seakan sirna semua perjuangan dan pengorbanan yang telah dilalui. Srina segala rasa sakitnya rindu. Sirna rasa kaki yang terbakar oleh perjalanan. Sirna segala susah payah. Beliau merasa mendapat lebih dari apa yang diharapkan.

Dzul Bijadain akhirnya hidup di Madinah dan menjadi sahabat Rosulullah yang begitu dicintai Rosulullah. Beliau meninggal setelah perang Khaibar, tetapi bukan karena perangnya. Setelah perang beliau sakit panas yang menyebabkan meninggal. Meninggalnya beliau membuat Rosulullah sangat sedih sampai-sampai saat pemakaman Dzul Bijadain, Rosulullah yang turun sendiri ke liang lahad untuk menerima jenazahnya. Kemudian Rosulullah berdoa,

“Wahai ALLAH sesungguhnya aku Ridho pada Dzul Bijadain, maka Ridhoilah ia Ya ALLAH”.

Sahabat-sahabat yang menyaksikan iri padanya, andaikan aku adalah jenazah itu.

*****

Barangsiapa yang cinta kepada Rosulullah maka Rosulullah akan membalas lebih. Beliau tau siapa yang mencintainya. Bahkan Rosulullah telah merindukan kita dari 14 abad yang lalu sebelum kita dilahirkan di dunia. Kita telah didoakan dalam sujud panjangnya. Jika Nabi lain diberikan doa-doa yang mustajab, lalu berdoa. Rosulullah menyimpanya untuk dipersiapkan nanti men-syafaat-i umatnya.

*****

Jika ada cinta yang bertepuk sebelah tangan, maka itu tidak berlaku saat kita cinta pada Rosulullah Saw.

 

 

Dikisahkan oleh Ustadzah Halimah Alaydrus (Majelis Ahbabuz Zahro-Jakarta, alumni Daruz zahro, Tarim, Yaman) dalam sebuah majelis Ta’lim di Tegal.

(Falahunnisa Nurul Azmi, KMNU UGM/fazmi)

 

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.