Sambungan Hati; Cinta Tak Mengenal Ruang dan Waktu

Mereka menunggu seseorang yang mereka agungkan. Kabarnya, beliau akan segera tiba, tetapi dari Kamis, Jumat, Sabtu, belum ada yang datang. Setiap rumah sudah dipersiapkan, siapa tahu rumah ini akan menjadi tempat tinggal beliau. Sambutan untuk beliau pun sudah dirancang. Senin pun tiba, dan beliau benar-benar sampai di Kota ini, Yatsrib (Madinah).

Bulan purnama sempurna telah datang, dari Thaniyyatil Wada’

Patutlah kita senantiasa bersyukur kepada Allah

Utusan Allah telah berada di tengah kita membawa amanat

Telah terbit bulan purnama menerangi negeri kami

Telah datang kepada kami Rasulullah pembawa risalah

Keindahanmu tiada tertandingi

Wahai wajah yang senantiasa berseri

Engkau laksana matahari

Engkau bak bulan purnama sempurna

Engkaulah cahaya mengungguli semua cahaya

Engkau laksana logam mulia

Engkaulah pelita hati seluruh umat..

Sambutan masyarakat Madinah dengan diiringi tabuhan khas dengan alat yang disebut rebana. Saat itu, mata mereka tak berkedip, takjub saat melihat baginda. Hati mereka berdebar-debar, berharap kekasihnya memilih rumahnya untuk dijadikan tempat tinggal. Nabi yang indah tutur katanya, memilih untuk menyerahkan pilihannya pada untanya. Unta Nabi yang dituntun oleh Allah akhirnya berhenti di sebuah rumah.

Unta mana yang begitu mulia, sampai-sampai Allah yang menunjukkan jalannya. Begitu pula dengan jalan kehidupanmu, apabila hatimu terpenuhi oleh Nabi, hatimu akan dipandu.

Unta itu memilih rumah Abu Ayyub Al-Anshori. Rumah itu tidak semegah rumah lainnya. Namun, karena disitu ada sesuatu yang mengaitkan, sebut saja cinta. Iya, memang itu cinta. Cinta yang tumbuh sebelum Nabi dilahirkan, cinta ratusan tahun yang lalu, cinta yang tertanam dari nenek moyang Abu Ayyub. Cinta itu mempunyai surat sebagai buktinya.

“Amma ba’du. Aku adalah Raja Tubba’. Sesungguhnya aku beriman kepadamu. Aku berada dalam agama dan sunnahmu. Aku beriman pada Tuhanmu, Tuhan segala sesuatu. Aku juga beriman kepada syariat agama yang bersumber dari Tuhanmu. Jika aku dapat bertemu denganmu, itu adalah suatu kenikmatan bagiku. Jika tidak, berilah aku syafaatmu dan di hari kiamat jangan lupakan diriku,karena aku adalah umatmu yang terdahulu dan aku telah berbai’at sebelum kedatanganmu. Aku memeluk agamamu dan agama Ibrahim AS.”

Begitulah inti dari surat yang dititipkan kepada Abu Ayyub. Surat itu ditulis oleh Raja Tubba’. Siapakah Raja Tubba’ itu?

Singkat cerita beliau adalah Raja Yaman yang sangat disegani. Namun, ketika beliau sedang berada di Mekkah, beliau tidak begitu dimuliakan, karena penduduk Mekkah memiliki Ka’bah yang mereka muliakan melibihi siapapun. Ketika itu Raja Tubba’ marah, dan memiliki niat jelek untuk Ka’bah. Namun, Allah menegurnya dengan memberinya dia sakit.

Sakit, adalah cara Allah menyayangi hamba-Nya,

 lantas bagaimana jika hidupmu berjalan tanpa ada peringatan buatmu?

Semua tabib tidak bisa menyembuhkan penyakitnya. Kemudian salah satu ulama bertanya apakah dia memiliki niat jahat. Beliau pun mengutarakan niat jahatnya pada Ka’bah. Setelah itu, beliau bertaubat dan Allah menyembuhkan penyakitya.

Saat perjalanan menuju Yaman, ketika sampai di Madinah, ulama-ulama dalam rombongannya memilih untuk menetap di Madinah. Ulama-ulama jaman tersebut tahu bahwa kota ini akan menjadi kota Hijrah Nabi akhir zaman. Raja Tubba’ pun mengijinkannya, bahkan beliau merawat sanak saudara para ulama kaumnya yang tinggal di Yaman. Beliau juga menitipkan surat cintanya pada Nabi, agar suatu saat bisa sampai pada Nabi.

Begitulah cerita singkatnya, tentang cinta Raja Tubba’ pada Nabi Muhammad SAW. Cinta beliau yang tak mengenal ruang dan waktu. Aku harap begitu pula dengan cinta 1400 setelahnya. Begitu kan cintamu pada Nabi? (Ahm-KMNU STIS/fazmi)

 

Referensi:

Kajian Ustadzah Halimah Alaydrus (Jakarta, Rabiul Awwal 1439H)

demensholawatan.blogspot.co.id

imandanamalshaleh.blogspot.co.id

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.