WANITA, Diatur atau Mengatur?

Awal munculnya para aktivis gender, banyak opini dan pendapat dari berbagai sudut pandang membahas tentang identitas wanita yang terus-menerus menjadi bahan perdebatan. Berbagai paradigma dan stigma tentang wanita selalu menjadi bahan yang sangat menarik untuk didiskusikan. Berbagai perspektif yang berbeda, beragam sudut pandang yang ada, di antaranya mengatakan bahwa kata “WANITA” merupakan asal kata dari (Wani Nata). Menurut salah satu pendapat yang lain, kata “WANITA” berasal dari kata (Wani ditata), kalimat pertama “wani nata”, artinya wanita berani menata, berani mengambil peran di dalam berbagai hal, dominan menjadi subjek dan selalu terdepan. Sedangkan yang kedua “Wani Ditata”, yang memiliki arti berani ditata, menempatkan wanita sebagai objek, menjadikan dirinya sebagai sasaran, dan juga memposisikan dirinya menjadi orang kedua dalam segala hal, dan tentunya kedua pendapat itu memiliki pengaruh besar dalam sudut pandang dunia tentang WANITA itu sendiri.

Kedua makna tersebut dapat menjadi bahan renungan bagi kaum wanita sebagai bentuk kritikan sosial. Tidak hanya kaum wanitanya saja, hal ini juga menjadi pelajaran penting bagi kaum pria yang kelak akan menjadi parter bagi kaum hawa agar berlaku hubungan timbal-balik yang baik, sehingga bisa saling melengkapi, khususnya disaat mereka telah membangun rumah tangga.

Namun, terlepas dari itu semua, bahwa kedua peng-istilahan tersebut tidaklah patut kita perdebatkan atau kita pertentangkan satu sama lain. Sebagai pemudi yang selalu berkembang dinamis, tentunya harus dengan mempertimbangkan segala bentuk kebaikan dan keburukan dalam mengambil keputusan dari setiap langkah yang diembannya.

Kaitannya dengan kedudukan perempuan dalam Islam, tentulah kita selalu mendengar tentang bagaimana seharusnya wujud identitas seorang wanita. Wanita perlu menjadi dua bagian dari dua pemaknaan kata diatas, karena dengan berada di kedua makna tersebut, maka ia akan berperan seimbang dalam melaksanakan kewajibannya, sebagia seorang anak, istri maupun ibu dalam rumah tangga.

Sebagai salah satu contoh, posisi sebagai seorang ibu, ia memiliki berbagai kewajiban sebagaimana yang telah banyak disebutkan dalam Alquran dan Hadist. Seorang wanita akan menjadi ideal ketika ia mampu memposisikan dirinya dalam dua pemaknaan tersebut, karena dalam keduanya terdapat kebaikan.

Ia harus bisa menjadi wanita yang ”Wani ditata” bisa ditata, bisa menjadi partner, bisa diarahkan, ketika posisi dia sebagia seorang “makmum” (makum dalam arti sebagai seorang istri) dan sebagai hamba Allah yang hendaknya mentaati berbagai batas-batas yang telah ditentukan oleh syariat. Akan tetapi ia-pun harus menjadi wanita yang “wani nata” yang berani menata, berani mengambil kesimpulan, berani mengambil sikap pada saat posisi dia sebagia seorang ibu dari anak-anaknya. Seorang wanita harus mampu memutuskan yang terbaik untuk anak-anaknya, dalam pola asuhnya, pendidikannya dan lain sebagainya, karena ia yang lebih tahu tentang keadaannya, walaupun dalam hal ini tidak terlepas dari seorang Ayah sebagai pemimpin baginya.

Agama telah mengatur sedemikian rupa aturan tersebut. Bagaimana dan kapan wanita boleh menjadi wanita yang wani nata, ataupun yang wani ditata. Maka dengan sendirinya wanitalah yang hendaknya mengetahui identitasnya dan posisi dia berada, serta mengetahui kadar kekuatan yang dimilikinya guna menghadapi berbagai tuntutan dalam kehidupannya. (Uswatun Hasanah/AM)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.