Kuncup Bunga Harapan (Chapter 6)

“Gas? Bagas kan? Tunggu!”

Adam dan Agus membalikkan badan melihat siapa yang menyapa sahabat mereka, tapi orang yang disapa hanya diam, tak sedikitpun merubah posisinya, seakan enggan untuk menatap seorang yang memanggilnya. Adam dan Agus saling bertatap muka, mempertanyakan, siapakah gadis ini?

“Assalamualaikum.”

Salam gadis tadi kepada mereka bertiga.

“Waalaikumussalam.”

Agus menyikut lengan Bagas, dan berbisik supaya dirinya menatap seorang yang menyapanya.

“Maaf Gas tiba-tiba memberhentikanmu bersama teman-temanmu. Aku hanya ingin bertukar kabar sebentar, kebetulan aku juga bersama Mbak Nurul.”

Gadis itu meminta maaf dengan sedikit menundukkan kepala.

“Assalamualaikum Gas, pripun kabare?”

Teman gadis tadi yang diketahui bernama Mbak Nurul pun turut memberi salam, nampak di wajahnya senyum yang tulus.

“Waalaikumussalam, Alhamdulillah sae Mbak. Kalau sampeyan sendiri gimana kabarnya?”

Sebenarnya Bagas nampak enggan berbicara dengan mereka berdua, namun karena Mbak Nurul turut menyapa, dia pun merasa tetap harus membalas sapaannya.

“Alhamdulillah kabar baik, sehat. Gas, entah kenapa aku tidak pernah melihatmu di rumah, apakah kamu tidak pernah pulang?”

“Pernah kok Mbak, kemarin juga baru saja dari rumah. Cuman memang jarang sekali pulang Mbak, hehehe.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, keadaan pun menjadi hening sesaat karena atmosfer percakapan terasa kaku dan kurang nyaman.

“Lha sampeyan kok di Semarang? Ada acara apa aya Mbak?” Lanjut Adam dengan segera.

“Ini lho si Ndhiroh ngajak jalan-jalan Gas, tadi habis dari kota lama, nah kan kebetulan kalau pulang jalannya searah ke makam Mbah Jumadil Kubro, jadinya ziarah sekalian gitu.”

Gadis yang memberhentikan Bagas yang diketahui nama sapaannya Ndiroh tadi sebenarnyalah sangat ingin masuk ke dalam percakapan Bagas dan Mbak Nurul, namun dia merasa ada suatu pembatas antara dirinya dan Bagas dan membuat keinginannya urung dilakukan. Begitu juga dengan Adam dan Agus, mereka memilih untuk menjadi pendengar setia saja.

“Berarti lagi libur kerja ya Mbak?”

“Iya Gas, memang sedari awal sudah direncana si Ndiroh buat jalan-jalan, jadi dia minta aku ambil libur di hari ini, soale dia juga pas libur kuliah. Rencana awalnya mau ke kota lama, terus ke makam Mbah Sunan Kalijaga, dan terakhir ke makam Mbah Sunan Kudus, tapi nggak tahu Gas tiba-tiba saja ingin ziarah ke sini sekalian. Kebetulan malah bisa ketemu awakmu.” Ucap Mbak Nurul seraya menepuk-nepuk pundak gadis bernama Ndiroh tadi.

“Owalah gitu toh ceritanya, hmm, semoga kesampaian rencananya untuk ke makam Mbah Sunan.”

“Aamiin, lha gimana mau ikut sekalian?” Tanya Mbak Nurul dengan senyum yang masih terpatri dengan ramahnya.

“Waduh, kayake ndak dulu Mbak, kebetulan kami bertiga juga ada jadwal ngaji, jadi harus segera balik, takut telat. Mohon maaf Mbak belum bisa ikut, hehehe.”

“Waduhh, yawis gapapa Gas. Oh iya, dengar-dengar kamu sekarang kuliahnya juga nyantri di pondokan ya? Wahh manteb gas, ndak nyangka aku.”

“Bukan Mbak, itu tadi cuman desas-desus yang keliru. Aku dan teman-teman hanya ngaji di dekat masjid. Sudah dulu ya, maaf Mbak takut telat.”

“Iya gas, hati-hati di jalan.”

“Njih Mbak suwun, Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.” Balas Mbak Nurul dan Ndiroh

Bagas segera pergi meninggalkan makam, menuju jalan raya, mencegat angkot yang akan membawanya beserta sahabatnya balik ke pondok.

“Maaf Mbak, kami agak keburu, maaf semoga bisa bertemu lagi di lain waktu.” Ucap Adam, dibalas anggukan oleh kedua gadis tadi. Lalu Adam dan Agus pun mengucap salam kepada mereka berdua dan mengejar Bagas yang sudah lebih dulu pergi.

Setelah mendapatkan angkot, mereka masuk, duduk di pojok kanan paling belakang. Bagas menatap ke luar jendela ke bangunan-bangunan yang dilewatinya. Dari tatap matanya, dipastikan bahwa pikirannya menerawang ke mana-mana.

“Siapa Gas?” Agus bertanya, membuka percakapan.

“Itu Gus, mantanku dulu. Kebetulan dia tadi sama Mbak Nurul, kakak kelas sekaligus teman seperjuangannya di IPPNU dulunya.”

“Apakah kehadiran mantanmu tadi yang membuatmu tergesa-gesa membaca tahlil?” Giliran Adam yang bertanya.

“Iya Dam.”

“Ya sudah, itulah salah satu dari sekian banyak dampak negatif dari pacaran Gas. Ketika putus, rasanya seolah-olah dia adalah orang yang paling jahat sedunia, padahal tentu hati kita sajalah yang merasa tersakiti olehnya yang kemudian kita mencari pembelaan diri, dan ‘melabeli’ dirinya sebagai orang jahat. Padahal sejatinya dia adalah orang baik, bahkan bisa jadi dirinya dinilai sebagai orang yang paling baik bagi seseorang maupun di suatu tempat, di lingkup hidupnya.” Ucap Adam.

“Iya Dam, aku ambil pelajaran dari kejadian terdahulu dan bertekad tidak mau pacar-pacaran lagi.” Balas Bagas.

“Maaf, bukan maksud hati ingin mengekangmu Gas, tapi memang demi kebaikan dirimu juga sehingga aku berani memberimu nasehat demikian.” Ucap Adam.

“Benar apa kata Adam Gas, aku juga sependapat dengannya. Wajar bagi seseorang mencintai lawan jenis, akan tetapi bila belum masanya, lebih baiknya untuk ditahan, menundukkan pandangan, mengekang hawa nafsu. Bila sudah tepat waktunya, langsung diseriusi, untuk segera dinikahi.” Ucap Agus yang sependapat dengan Adam.

Bagas hanya diam, merenungi perkataan sahabatnya.

“Tapi aku suka alibimu tadi, aku masih ingat dulu kamu pernah bilang bahwa kamu tidak suka dan tidak mau kalau ada orang yang tahu kamu mondok. Lalu ketika ditanya Mbak-mbak tadi, kamu bilang hanya sedang ngaji di dekat masjid. Iya bener juga sih ya, kan pondok kita dekat masjid. Hahaha ada-ada saja si bakul gas.” Lanjut Agus.

Mereka bertiga pun tertawa dalam angkot, penumpang lain melirik mereka, lalu mereka pun diam, cengengesan di kursi pojok belakang.

“Terima kasih, Pak.” Ucap Adam sembari mengulurkan uang 6 ribu untuk ongkos angkot mereka bertiga.

Mereka bergegas ke pondok untuk segera mandi, lalu sholat maghrib berjamaah di masjid. Kembali ke pondok untuk sema’an Al-Qur’an, setelah selesai kembali lagi ke masjid untuk sholat isya berjamaah. Dilanjut dengan ngaji  kitab At-Tadhib sareng Ustadz Khotib. Selesainya ngaji, para santri masih saja semangat mendiskusikan ‘hasil’ ngaji tadi di kamar masing-masing, termasuk Bagas, Agus dan Adam, mereka berdiskusi bersama teman-teman kamar, termasuk Kang Anam selaku ketua kamar. Mereka berdiskusi sesuai pemahaman mereka masing-masing, dirembuk, supaya yang tidak paham bisa paham dan yang sudah paham semakin paham dan hapal.

“Alhamdulillah, cukupkan mawon njih Kang. Tidak akan selesai kalau dibahas terus, Insyaa Allah besok bisa didiskusikan kembali.” Ucap Kang Anam mengakhiri diskusi, seraya memimpin doa kafaratul majelis dan diikuti oleh teman-temannya.

-#-

Aktifitas pondok saat malam hari tetap sama seperti biasanya, ada yang menghafal nadhoman, ada yang menghafal Al-Qur’an, ada yang bergegas tidur (demi qiyamul lail katanya), ada yang pergi makan ke warung, ada yang pergi ke masjid, ada yang mengerjakan tugas kuliah, dll.

“Dam, Gus, apakah kalian melihat buku catatanku? Kok tidak ada ya?” Tanya Bagas dengan wajah panik.

“Buku catatan kecil yang biasa kamu isi quotes-quotesmu itu?” Agus menjawab dengan balik bertanya.

“Iya Gus, dari tadi tak cari-cari tidak ada. Aku ingat betul tadi siang masih tak bawa.”

“Waduhh jangan-jangan jatuh Gas?” Jawab Agus menambah kepanikan Bagas.

“Semoga saja tidak Gus.” Serobot Bagas.

Adam yang melihat mereka panik lantas segera bertanya.

“Sudah kamu cari di mana saja tadi Gas?”

“Di tas, di lemari, di saku jaket, di sudut-sudut kamar, di kamar mandi bahkan, tapi tetap saja hasilnya nihil, tidak ada Dam.”

“Kamu ingat-ingat dulu, kira-kira siang tadi masih kamu bawa atau tidak?”

“Iya, masih Dam.”

“Ataukah ketinggalan di makam ya? Tadi sore?”

Ucap Adam memastikan.

“Kalau begitu kita check saja besok, check kemakam, bagaimana Gas, Dam? Kalau misal sekarang sepertinya belum bisa, selain jam malam pondok, juga akan menyusahkan bila mencari barang hilang malam-malam begini.” Balas Agus memberi solusi.

“Oke.” Balas Bagas sambil meyakinkan diri dan berdoa dalam hati supaya bukunya segera ketemu.

“Iya Gus, setuju. Kta check besok, semoga saja ketemu di sana.” Jawab Adam menyetujui.

Drrrrttt… Drrrrttt… Drrrrttt

Satu pesan masuk di HP Bagas, dia membukanya, ternyata itu adalah pesan dari Andini.

‘Maaf Gas, aku butuh bantuan.’

Terdapat emoji tangan terkatup rapat di sana, nampak benar-benar memohon kepadanya. Lantas Bagas pun membalas pesan tadi.

‘Iya Din, ada apa ya?’ Balas Bagas.

‘Aku tidak bisa mengetikannya di pesan seperti ini Gas, maaf. Kalau semisal kita bertemu bagaimana? Besok, di taman?’

Hati Bagas pun bimbang, dia masih harus segera ke makam besok untuk mencari buku catatannya.

To be continued –

Penulis: Muhammad Toyyib (KMNU UNISSULA)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.