Manaqib Pengarang Simtut Duror: Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi

Sejarah Hidup dan Perjuangan Dakwah

Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi dilahirkan di desa Qosam (Hadramaut). Ayah kandungnya adalah seorang alim dan ulama besar yaitu Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi lahir di Seiwun sedangkan ibunya adalah seorang alim dan pendakwah yang bernama Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri lahir di Syibam. Ada sebuah kisah menarik tentang ayah Habib Ali. Pada waktu itu ayah Habib Ali menyewa rumah seharga 100 qursyi setahun. Suatu hari pemilik rumah datang untuk meminta uang sewa rumah. Ayah Habib Ali kemudian berkata kepada kakaknya Habib Ali : “Wahai Ahmad, naiklah ke atas, ambil uang uang 100 qursyi di laci dan bawa ke sini!”. Ahmad berkata dalam hati “Setiap hari laci itu ku buka dan di dalamnya tidak ada uang”. Ahmad lalu naik ke atas. Setelah membuka laci dan tidak menemukan apa-apa, lalu ia kembali menemui ayahnya “Wahai ayah laci itu kosong, tidak ku temukan uang di sana”. “Kau tidak melihatnya, Ayo ikut aku, akan ku tunjukkan kepadamu,” kata ayah Habib Ali. Setelah itu mereka berdua naik ke atas dan membuka laci. Ternyata di sana ada sebuah kantong berisi uang 100 Qursyi, “Berikanlah pemilik rumah itu uang ini agar ia tenang”. “Wahai ayah, kami telah tenang dari pemilik rumah, namun kita sama sekali tidak memiliki uang untuk membeli makanan,” kata Ahmad (kakak Habib Ali). “Wahai anakku. Dia yang memberi uang untuk membayar sewa rumah ini tentu akan memberi kita makan,” jawab ayah Habib Ali. Tak lama kemudian ada surat dari Sultan Gholib bin Muhammad beserta uang 100 Qursyi. Rupanya Sultan ini salah satu murid ayah Habib Ali, “Wahai anakku, perhatikanlah bagaimana Allah memudahkan rezeki kita,” kata ayah Habib Ali (Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi.

 

Nasab Habib Ali bersambung kepada Rasulullah SAW, melalui jalur Sayiidina Husein, lengkap yaitu Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husien bin Ahmad Shohibusy Sy’ib bin Muhammad Asghor bin Alwi bin Abubakar Al-Habsyi berlanjut terus sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra. Penampilan Habib Ali, beliau berkulit sawo matang diliputi cahaya. Perawakannya tinggi besar, kekar, berdada bidang, berperut kecil. Wajah bulat berisi, berdahi lebar, dan berjanggut pendek, jambang beliau sedikit dan pendek.

Di antara guru-gurunya adalah kedua orang tuanya sendiri, Al-Allamah Sayid Umar bin Hasan Al-Hadad, Sayid Abdullah bin Husein bin Tohir, Sayid Abdullah bin Husein bin Muhammad, Syeikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Habib Ali bin Idrus bin Syihabudin, Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Mudhar (Imam para Saadah yang mulia), Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Athas dan banyak lagi lainnya. Di antara para gurunya tersebut Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Athas adalah guru yang paling berkesan bagi Habib Ali. Dalam kitab Tajul A’ros disebutkan Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Athas memelihara Habib Ali sejak dia masih berada di alam buthun (perut) hingga berada di alam zhuhur (dunia).

Ketika Habib Ali masih anak-anak terjadi kejadian aneh di Masjid Jami Qosam, pada waktu itu pakaian Habib Ali tertinggal di dalam masjid tersebut lalu Habib Ali bersama ibunya keluar untuk mengambil baju itu, sesampainya di Masjid, Habib Ali masuk sendiri ke dalam Masjid sedangkan ibunya menunggu di luar. Tetapi bajunya tidak ditemukan di tempatnya. Tiba-tiba salah satu tiang masjid tersebut terbelah dan dari dalam tiang tersebut keluar seorang pemuda dengan jenggot tebal, berkulit putih berkata : “Wahai Ali, ambilah pakaianmu ini. Ketika melihatnya tertinggal, aku menyimpannya untukmu”. Kemudian Habib Ali segera mengambilnya. Pada usia 17 tahun beliau pergi ke Mekah, dimana saat itu ayahnya berada di sana dalam rangka berdakwah. Habib Ali berada di sana selama 2 tahun. Kemudian setelah itu beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang alim dan ahli dalam pendidikan. Habib Ali pernah melakukan perjalanan ke Pulau Jawa selama 5 bulan pada tahun 1315 H atas perintah ayahnya.

Pada usia 37 tahun Habib Ali membangun Ribath (pondok pesantren) yang pertama di Hadramaut untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Ribath itu menyerupai masjid dan terletak di sebelah timur halaman Masjid Abdul Malik. Para orang yang tinggal dan menuntut ilmu di ribath tersebut biayanya beliau tanggung sendiri. Menurut Syeikh Salim bin Muhammad Syamaakh, seorang pencinta beliau, Habib Ali menanggung setiap hari selain para tamu adalah 150 orang; 50 orang di ribath, 50 orang di rumah dan 50 orang di Anisah. Adapun jumlah tamu setelah Isya adalah sekitar 15-20 orang. Selain itu Habib Ali juga membangun masjid yang dinamakan Masjid Riyadh, pada waktu beliau berusia 44 tahun. Masjid tersebut berdampingan bahkan menjadi satu dengan ribath. Habib Ali berkata, ”Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya, rahasia, dan keberkahan Nabi Muhammad SAW.

Maulid Simtud Duror

Ketika Habib Ali berusia 68 tahun, beliau menulis kitab maulid yang diberi judul Simtud Duror. Disebutkan bahwa maulid ini dibacakan pertama kali di rumah beliau kemudian di rumah muridnya Habib Umar bin Hamid. Sebelum itu, Habib Ali selalu membaca Maulid Al-Hafidz Ad-Diba’I (Maulid Ad-Diba’i). Berkata Habib Ali tentang kitab maulidyang beliau karang ini,  “Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghapalnya, maka rahasia (sir) Al-Habib SAW akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab ini dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW, bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah membukakan kepada susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi SAW, andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu”.

Munculnya Maulid Simtud Duror di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak didapatkan oleh orang-orang zaman akhir tidaklah sedikit. Namun setelah maulid ini datang, ia menyempurnakan apa yang telah terlewatkan, dan Nabi SAW sangat menyukai maulid ini. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi paman Habib Ali berkata “Wahai anakku, perhatikanlah kumpulan orang ini. Pertemuan ini belum pernah dilakukan pada masa-masa dahulu. Dalam maulid ini, aku memiliki sebuah masyhad (pandangan/pemikiran). Dalam perang Tabuk, Nabi SAW dan para sahabat ra. tidak mempunyai cukup perbekalan. Beliau memerintahkan agar setiap orang membawa makanan apapun yang mereka miliki. Ada yang datang membawa sebutir kurma, ada yang membawa 2 butir kurma dan ada pula yang membawa segenggam gandum. Nabi SAW lalu mengumpulkan makanan tadi, lalu memberkatinya, kemudian beliau memerintahkan agar setiap sahabat mengambil sesukanya. Ada yang mengambil satu ember, ada yang mengambil satu karung penuh. Masing-masing sahabat akhirnya mendapatkan bekal yang banyak berkat doa Nabi SAW. Begitu pula pertemuan maulid ini. Setiap orang yang datang memiliki sir, ada yang sedikit, ada yang banyak. Kemudian Nabi SAW memberkatinya. Seusai maulid, setiap orang pulang membawa sir yang sangat banyak”.

Wafatnya Habib Ali

Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib Ali semakin kabur dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak adalah isthilam. Isthilam ini berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu Dhuhur, hari Minggu, 20 Rabiuts Tsani 1333 H, ruh beliau yang suci terbang menuju “Illiyyin. Kemudian pada waktu Ashar keesokkan harinya, jenazah beliau diantarkan ke kubur dalam suatu iring-iringan yang tidak ada awal dan akhirnya. Jenazah beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Riyadh. Habib Ali meninggalkan 5 orang anak, 4 putra dan 1 putri dari 2 orang wanita, yang pertama seorang wanita Qosam (bernama Abdullah) dan Syarifah Fatimah binti Muhammad Maulakhela (Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khadijah). Di antara anaknya itu ada yang menetap di Solo, Indonesia, yaitu Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (ayah dari Habib Anis bin Alwi Al Habsyi). Habib Ali mempunyai banyak murid, di antara adalah anak-anaknya sendiri, adiknya, Habib Syeikh bin Muhammad, Sayid Abdullah bin Umar Asy-Syathri, Sayyid Ja’far dan Abdul Qodir bin Abdurrahman Asseggaf, Sayid Muhammad bin Hadi bin Hasan Asseggaf, Sayyid Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Asseggaf, Sayyid Abdullah bin Alwi bin Zien Al Habsyi, Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur, Sayyid Umar bin Tohir Al-Haddad dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan.

(Sumber Sekilas Tentang Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, karya Habib Novel Muhammad Alaydrus, Penerbit Putera Riyadi)

Karomah Habib Ali yang diungkapkan oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim Bin Ahmad bin Jindan

“Dulu, ketika Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi mengadakan suatu acara, pasti seluruh wali, ulama dari berbagai dunia hadir ke acara beliau. Satu waktu ada dari seorang wali Allah yang tidak dapat hadir dan berkata, “Acara Habib Ali jauh di Sewun, panas, dah ana hendak berziarah ke para salaf di Jambal dari pada hadir di acara Habib Ali”. Belum sempat masuk di Jambal ada seorang wali Allah yang berpakaian lusuh mukasyaf berkata “antum hendak ziarah?, sungguh mereka kakek kakekmu para salaf tidak ada di sini, mereka sedang pergi menghadiri acara Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi di Sewun.” Saat itu juga wali yang tadinya hendak berziarah langsung bergegas menuju acara Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi.”

Wallahu’alam

Sumber:

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.