Kuncup Bunga Harapan Chapter 8

‘Semut-semut kecil itu tertarik dan membawa pergi gula yang manis

Kupu-kupu tertarik dan menyukai bunga di taman

Dan aku yang lemah ini telah tertarik pada senyummu

Namun kamu pergi sendiri ke singgasanamu tanpa suatu kata

Dan kini aku bertanya dengan hati terluka

Tanpa bisa berkata, hanya bisa menerima

Kutelan sendiri pahit ini dan hanya kuberitahu pada Tuhan

Saat hening malam’

Dia menuliskan perasaanya ke dalam puisi. Dia tuliskan pada buku yang diberikan oleh Agus.

-#-

SATU TAHUN KEMUDIAN

Bagas, Adam dan Agus sekarang menginjak di semester 5, semester yang orang-orang katakan sebagai semester yang lagi berat-beratnya. Siang ini mereka bertiga telah selesai mengikuti kelas. Mereka hendak makan siang di kantin, ke tempat penjual mie ayam.

“Dam, tolong ambilin saos sebelahmu. Gus, kecap, tulung.”

Bagas yang kebagian mie ayam paling akhir meminta saos dan kecap kepada kedua sahabatnya itu. Mie ayam di pojok kantin ini biasa ramai dikunjungi mahasiswa yang hendak makan siang, selain karena nikmat, harganya pun cukup terjangkau. Mereka bertiga makan dengan lahap. Meskipun ramai dan cukup padat pengunjung, namun ruangan kantin yang dipenuhi kipas angin besar setidaknya mampu mengurangi gerah dan panas teriknya cuaca Semarang. Selain itu, kebetulan pohon hijau nan rindang banyak tersebar dipenjuru kampus, termasuk di sekitar lingkungan kantin, jadi suasana di kantin terasa nyaman dan sejuk. Mahasiswa yang makan siang disini ada yang sembari diskusi masalah materi perkuliahan yang tadi pagi disampaikan bapak-ibu dosen, ada yang membahas organisasi, dan ada yang cukup fokus makan saja, lalu pergi. Bagas, Adam dan Agus hanya ingin makan disini, namun tanpa disengaja ada 4 teman kelas Andini yang juga kebetulan makan disini, tepat di belakang Bagas. Secara tidak sengaja pula mereka membicarakan Andini. Yang selama ini tidak pernah lagi menghubungi Bagas.

“Aku dengar Andini keluar ya dari kampus?” Ucap gadis berjilbab biru, teman kelas Andini.

“Aku kira Andini mau ambil cuti.” Ucap gadis lainnya.

“Kemarin kata Dina, Andini sedang mondok, ngehafalin Al Quran, dan mau fokus mondok saja.”

“Dina Rahayu, yang biasa bareng Andini itu ya.”

“Iya, dia kan teman sedesa Andini. Mereka berdua sudah berteman sejak dari SD.”

“Yah, cukup disayangkan kalau Andini bener-bener keluar. Aku suka saat kita diskusi bareng, dia orangnya kritis dan berkarakter. Tapi yah, semua orang punya jalan masing-masing.”

“Iya, aku juga suka saat kerja kelompok bareng dia. Andini selalu bisa diandalkan.”

“Aku dengar-dengar, Andini juga sudah bertunangan, dengan pemuda satu desanya, seorang hafidzh, yang juga mengajar sebagai guru di madrasah. Kata si Dina, tunangan Andini itu orangnya gagah, tinggi, kulitnya putih dengan bulu mata tebal. Ganteng banget pokoknya. Aku jadi penasaran, semoga bisa datang ke nikahannya nanti.”

“Wah, hebat banget yah. Cocok memang, sama-sama penghafal Al Quran. Andini nanti bisa jadi istri dan ibu yang hebat. Cerdas, displin, bisa diandalkan, sholehah. Komplit.”

“Wah enak ya jadi Andini, jadi iri.”

“Heh, ndak boleh iri.”

“Hehehe iya.”

Bagas yang tentu saja mendengar percakapan itu membeku seketika. Adam dan Agus yang juga mendengarnya hanya diam dan menunggu respon Bagas. Setelah diam beberapa saat, Bagas berdiri hendak menanyai mereka berempat namun ditahan oleh Adam.

“Jangan Gas, kita tanya saja ke Dina, apakah kabar yang mereka ceritakan tadi benar atau tidak.”

Ucap Adam, Agus hanya mengangguk.

Bagas yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa kembali duduk dengan hati yang tak karuan. Dia tersenyum kecut menyadari betapa dirinya hanyalah seorang lelaki tidak berguna. Dalam hati kecilnya, dia merasa bahwa memang Andini akan jauh lebih baik bila mendapatkan seorang lelaki yang sepadan bersanding dengannya.

‘Selamat ya Din.’ Lirihnya.

Kini hatinya hanya diliputi kesedihan, meskipun kabar tadi belum bisa dipastikan kebenarannya. Namun bagi Bagas, kabar tadi seolah benar adanya, jika dilihat dari kondisi yang dialaminya sekarang. Mulai dari Andini yang tiba-tiba hilang tanpa kabar, dan dia ingat bahwa dulu Andini pernah memiliki keinginan untuk mondok, menghafalkan Al Qur’an sebelum dia menikah. Bagas mendengarnya dengan sangat antusias dan Bahagia. Namun kini dia hancur sekali mendengar bahwa lelaki yang akan menikah dengan Andini bukanlah dirinya, melainkan orang lain.

-#-

Setelah mendengar kabar Andini, Bagas mencoba bertanya langsung kepada Dina, teman dekatnya Andini. Sayangnya, kabar burung yang didengarnya, memang benar adanya.

“Iya Gas, maaf bila harus memberitahu kenyataannya. Namun akan lebih menyakitkan bila aku tutupi dengan kebohongan. Andini dan Teguh sudah bertunangan, mereka dijodohkan oleh ayah mereka masing-masing.” Ucap Dina.

Dijodohkan? Apakah pertunangan itu berarti paksaan orang tua mereka? Ataukah jangan-jangan si Teguhlah yang meminta sang ayah untuk meminang Andini? Lalu bagaimana dengan Andini? Apakah dia juga mencintai si Teguh? Akankah Andini bahagia bila hidup bersama Teguh nantinya? Ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam kepala Bagas. Namun belum sempat dia menanyakannya, Dina sudah lebih dulu pamit pergi.

“Maaf ya Gas, aku harap kamu mengerti, dan ikhlas dengan keadaan ini. Maaf, aku permisi dulu, Assalamualaikum.” Setelah mengucap salam, Dina pun lekas pergi dari sana.

Bagas tak sempat menanyakan segenap keresahannya. Yang jelas saat ini hatinya tengah remuk, dia hanya menatap nanar kepergian Dina yang semakin menjauh. Dia berdiri mematung melamunkan segenap waktu yang telah dia habiskan bersama Andini.

‘Duhai, beginikah rasanya sakit hati? Bak terpanah racun paling mematikan tepat di ulu hati.’ Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba ada sesuatu yang bergetar di dalam sakunya. HPnya berdering memperlihatkan ada seseorang yang tengah menelpon. Itu adalah nomor tidak dikenal, yang membuatnya ragu untuk mengangkatnya.

‘Mungkin ada sesuatu yang penting.’ Pikirnya. Dia pun segera mengangkat telepon tadi.

“Halo? Iya, Waalaikumussalam.. dengan siapa ya-?”

Tepat diujung kalimatnya, Bagas menyadari kalau dia tidak asing dengan suara perempuan di seberang telepon. Dan benar saja, dugaannya pun tepat setelah dia memperkenalkan diri.

“Ada urusan apa kau menelponku?” Tanya Bagas dengan intonasi datar dan raut wajah dingin.

“Apa? Kau menemukan bukuku?” Ucap Bagas terkejut mendengar penuturan orang di telepon.

“Aku tidak mau tahu, jangan pernah kau membuka apalagi membaca isinya. Dan aku minta buku itu kau kembalikan segera.” Ucap Bagas dengan nada memaksa.

“Besok? Di alun-alun Demak?” Tanya Bagas.

“Oke, Jam 8 pagi.”

Setelah membuat kesepakatan, Bagas pun menutup teleponnya.

“Lho, ada pertemuan apa tho Gas kok sampe harus ke Demak?” Tanya Agus.

“Ini Gus, Ndhiroh, dia menemukan bukuku.” Jawab Bagas.

“Ghhuk..” Agus tersedak minumannya saat mendengar nama Ndhiroh.

“Apa? Ndhiroh? Mantanmu itu?” Tanya Agus.

To Be Continued

Penulis                 : Muhammad Toyyib (KMNU UNISSULA)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.