STMJ, Sholat Terus Maksiat Jalan, Kok Bisa?

Bagi kami, santri-santri kampung, mengaji bukan hanya sekadar proses pemindahan informasi dari memori sang Kyai ke dalam memori para santri. Atau yang biasa kita sebut dengan istilah pengajaran, atau proses “ajar”. Tapi lebih dari itu. Mengaji juga merupakan proses copy paste sifat-sifat luhur yang bersemayam dalam sanubari sang Kyai ke dalam sanubari para santri. Atau yang biasa kita sebut pendidikan, atau proses “didik”.

Di pondok pesantren, proses “ajar” diwujudkan dalam bentuk bandongan dan sorogan. Keduanya merupakan bentuk dari metode talaqqi yang merupakan warisan para ulama dari masa ke masa. Hanya saja pada bandongan, sang Kyai lebih aktif dari santri. Hampir mirip dengan metode kuliah di kampus. Sedangkan sorogan sebaliknya, mirip dengan kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) zaman Pak Harto dulu. Santri lebih dituntut keaktifannya. Kedua metode ini dikuatkan oleh pengayaan yang bersifat mandiri, agar pemahaman santri lebih mendalam dan mampu menganalisis lebih cermat. Pengayaan itu dibuat dalam bentuk muthala’ah, musyawarah, dan munadzarah. Apa itu? Mondoklah maka kau akan tahu, hahaha.

Itu yang kami sebut “ajar”. Adapun yang kami sebut pendidikan atau proses “didik”, pesantren mewujudkannya dalam bentuk khidmat. Ya, berkhidmat pada Kyai. Membantu beliau dalam segala kegiatan. Mulai dari menyiapkan sarapan, mencuci, menyiapkan perlengkapan mengajar, sampai menyiapkan tempat tidur beliau. Tujuannya agar para santri memiliki waktu yang banyak untuk suhbah (interaksi) dengan Kyai.

Mungkin sebagian dari kita bertanya, apa pentingnya banyak berinteraksi dengan Kyai?

Anda perlu tahu; adab, akhlak, dan sifat-sifat luhur (seperti tawadlu, zuhud, wara’, malu, iffah, dan lain-lain) tidak akan bisa berpindah dengan cara “ajar”. Sebagai contoh, ada seseorang ingin belajar sabar. Seribu kitab yang membahas tentang sabar ia baca dan pelajari di depan Kyai tidak akan membuat dia sedikit pun menjadi seorang penyabar. Bahkan mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, ia menjadi seorang yang pemarah, karena tak sabar ingin cepat khatam. Hahaha.

Lantas bagaimana caranya untuk bisa sabar? Jawabannya adalah orang tersebut harus banyak berinteraksi dengan Kyai yang penyabar, sehingga ia pun terpengaruh untuk juga berbuat sabar dalam kehidupannya. Bukankah berkawan dengan penjual parfum menjadikan anda ikut harum? (Rujuk hadits Nabi SAW).

Begitu pula dengan sifat-sifat luhur lainnya, seperti tawadlu’, jujur, wara’, zuhud, amanah, dan lain sebagainya. Itu semua hanya dapat berpindah dengan suhbah (interaksi) yang intens dengan guru, yang oleh pesantren diterjemahkan dalam bentuk khidmat.

“Didik” inilah yang tidak ada dalam sistem pendidikan kita. Maka jangan kaget jika anda menemukan di TV seorang pejabat yang hitam jidatnya karena rajin salat, bahkan sering memberikan tausiyah tapi tetap saja korupsi. Orang tersebut (mungkin) merupakan korban “ajar” tanpa “didik”. Sebab, salat dan pidato itu bisa dilakukan dengan “ajar”, tapi tidak dengan mental jujur. Ia hanya bisa didapatkan dengan “didik”.

Jangan kaget jika anda menemukan orang-orang yang menyerukan Daulah Islamiyah tapi disaat yang sama ia menghancurkan hati umat dengan pertumpahan darah. Sebab, politik itu bisa didapatkan dengan cara “ajar”, tapi sikap kasih sayang hanya dapat diperoleh dengan “didik”.

Inilah (mungkin) penyebab munculnya sekelompok manusia yang “Salat Terus” tapi “Maksiat Jalan”. Sebab untuk bisa salat cukup dengan “ajar”, tapi menjaga diri dari maksiat hanya dapat diperoleh dengan “didik”.

Mayoritas (kalau tidak mau disebut semua) sekolah di negeri kita hanya memberikan “ajar” tanpa “didik”. Pondok pesantren menjadi satu-satunya lembaga yang bisa menyelaraskan “ajar” dan “didik” secara bersamaan. Bagaimana tidak, santri 24 jam wajib di dalam pondok yang berisi guru-guru yang dadanya dipenuhi sifat-sifat luhur. Dengan begini mau tidak mau seorang santri harus ber-suhbah. Sebagaimana guru-guru tersebut juga memperoleh limpahan adab, akhlak, dan sifat-sifat luhur tersebut dari guru-guru mereka. Begitu seterusnya hingga kepada makhluk terluhur, Nabi Muhammad SAW. Akhir kata, izinkan saya untuk menutup tulisan saya dengan seruan: #AyoMondok(Adhli al Qarni)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.