Peran KMNU Mengatasi Ancaman Kegagalan Gerakan Kepemudaan #1

Indonesia adalah negara yang unik, beragam bangsa, budaya, dan bahasa dipersatukan oleh persamaan nasib dan cita-cita. Dari Sabang sampai Merauke, wilayah Indonesia membentang di antara Samudra Pasifik dan Samudra. Berkat asas persatuan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua, masyarakat Jazirah Nusantara ini bersatu padu penduduknya. Maka sampai hari ini, perbedaan dan keragaman sosial masih menjadi dilema bagi Indonesia.

Tujuh puluh tahun lebih Indonesia merdeka. Kebanyakan negara-negara yang merdeka atau lahir sebaya dengan Indonesia sudah memasuki fase negara pasca take off. Negara-negara yang sudah mature ini menjadi negara acuan pembangunan negara lain. Beberapa bahkan mulai berani mengambil peran internasional dan menguasai ekonomi dunia. Sementara negara kita, Indonesia, sampai hari ini masih gonta-ganti mesin dan pilot akibat gagal take off. Berbicara tentang lahirnya negara Indonesia, tak bisa lepas dari peran para pemudanya sebagaimana sejarah telah meriwayatkan kepada kita. Pun begitu, dinamika sosial-politik Indonesia pasca kemerdekaan juga lekat dengan peran pemuda. Itulah kenapa, sampai sekarang pemuda selalu dianggap sebagai backbone negara. Sebutan untuk kelompok masyarakat berusia 16-30 tahun sesuai UU Nomor 40 Tahun 2009 ini pun luar biasa. Diantaranya, agent of change, iron stock, guardian of value, dan social control.

Namun pertanyaannya, apakah pemuda hari ini masih terinternalisasi dengan konsep-konsep karakter diatas? Benarkah pemuda masih idealis dengan impian-impiannya? Apakah power of imagination dari para pemuda kita sekuat dan sebesar para pemuda pejuang kemerdekaan dulu?

Hari-hari ini, Indonesia, terlebih para pemudanya, sedang dihadapkan pada tantangan besar untuk mencoba take off kesekian kalinya. Targetnya tak main-main, Indonesia Emas 2045. Bedanya, kali ini sumber daya manusia produktifnya jauh lebih banyak dibanding percobaan take off sebelumnya. Orang bilang, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi. Mengapa tantangan? Karena jika bonus demografi ini didominasi oleh orang-orang yang merdeka sepenuhnya, maka proses take off akan mudah, begitu pula untuk langsung terbang tinggi. Sebaliknya, jika bonus demografi ini tidak diiringi dengan orang- orang yang berani berimajinasi dengan kuat, maka bisa jadi bencana bagi Indonesia. Bencana nasional karena gagal memerdekakan bangsanya setelah sekian tahun merdeka secara de facto maupun de jure.

*****

28 Oktober 1928, sumpah pemuda 88 tahun yang lalu adalah suatu momen luar biasa yang dicetuskan oleh para pemuda bangsa ini. Meski jumlah pemudanya saat itu tak sebanyak sekarang, pun dengan jumlah masyarakat melek hurufnya yang hanya berjumlah 5% saja. Namun, mereka mampu membuat suatu peristiwa yang memberikan dampak luar biasa bagi perjuangan kemerdekaan berikutnya. Terlepas dari kontroversi sejarahnya dengan Manifesto 1925, setidaknya, ada dua hal yang bisa kita refleksikan untuk saat ini dari adanya sumpah pemuda tersebut.

Pertama, sumpah pemuda merupakan bentuk nyata dari impian-impian pemuda pada masa itu. Pemuda-pemuda yang menjadi saksi penjajahan dan penindasan saat itu selalu bermimpi untuk bisa merdeka. Pemuda macam Sukarno, Hatta, Sjahrir, Moh. Yamin, Sugondo, dan lainnya, telah teracuni pemikiran kebangsaan dan kemerdekaan sejak remaja. Dengan itu, impian-impian tentang kemerdekaan berpendar liar dalam kepala-kepala mereka. Mereka bermimpi tentang sesuatu hal yang jauh lebih besar daripada kemapanan diri sendiri. Mereka bermimpi tentang kemerdekaan bangsanya, rakyatnya, dan kedaulatan negaranya. Inilah mengapa banyak orang bilang, Indonesia dibangun atas dasar imajinasi bangsanya.

Yang perlu dicermati dalam poin impian ini adalah, orang yang berani bermimpi sedemikian besar adalah mereka yang mampu memerdekakan cara berpikirnya. Hal yang sepertinya sangat jarang dimiliki oleh pemuda masa kini. Kebanyakan pemuda masa kini terjerat oleh konsep pragmatisme, instan, ingin langsung enak dan cepat. Akibatnya, banyak pemuda yang tak berani mengambil tantangan dan mengerdilkan kapasitasnya sendiri. Mereka terjebak dalam pemikiran mainstream. Alih-alih berkedok anti-mainstream, sejujurnya mereka sedang berdamai dengan ketakutan akan ketidakpastian pemikiran mainstream mereka. Sehingga, kita bisa melihat mahasiswa kita, the happy selected few, kebingungan dengan apa yang akan dikerjakan setelah kelulusannya menjadi sarjana. Sebagian melampiaskan memburu pekerjaan, sebagian yang beruntung bisa menjadikan pendidikan S2 sebagai pelarian, dan banyak yang kemudian menjadi pengangguran menambah beban negara. Disini, terlihat jelas bahwa pendidikan dan pendewasaan kita, tak membuat kita merdeka sepenuhnya. Sebaliknya, semakin mengekang dan membatasi kita dengan doktrin dan dogmanya. Jika mental seperti ini tak segera berubah, rasanya realitas Indonesia Emas akan menunggu lebih lama lagi dari tahun 2045.

Kedua, peristiwa sumpah pemuda ini menjadi awal bersatunya gerakan- gerakan kepemudaan saat itu. Gerakan pemuda Jong Celebes, Jong Java, Jong Bali, dan organisasi yang bersifat kedaerahan dan sporadis lainnya bersatu untuk memperjuangkan nasib dan kemerdekaan bangsanya. Ya, para pemuda saat itu sadar untuk melahirkan suatu hal besar, dibutuhkan kolaborasi yang baik. Untuk menyatukan ke-bhineka-an Indonesia, dibutuhkan kesadaran untuk saling melengkapi satu sama lain. Kesadaran akan persatuan inilah yang kemudian membuat perjuangan melalui gerakan kepemudaan menjadi berdampak. (Khoirul Fahmi)

Bersambung….

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.