Part 2: Belajar Hikmah: Penampilan

“Jika seseorang menjadi manusi karena bentuknya, maka Muhammad dan Abu Jahl tiada beda. Lukisan di dinding memang mirip manusia, namun sehebat apa pun lukisan, ia tetap tak bernyawa. Perhatikanlah mutiara, jangan hanya bentuknya!” (Maulana Jalaluddin Rumi)

Pernahkah kalian disepelekan orang lain??? Misalkan dibentak tukang parkir. Padahal kalian adalah mahasiswa kebanggaan yang punya banyak prestasi yang dikenal seantero kampus. Kecewakah kalian diperlakukan seperti itu??? Lazimnya penglihatan orang lain kepada kita adalah tentang karakter fisikal belaka artinya apa? Penampilan kalianlah yang membentuk penilainan orang lain. Karena orang lain tak mengenal kita yang sebenarnya. Tukang parkir hanya menganngap kita adalah sebagaimana penumpang umum lainnya, bukan sebagai seorang mahasiswa yang punya segudang prestasi.

Belakangan ini, orang lain menilai kualitas ketakwaan, kesalehan, dan keimanan seseorang diukur dari sudut penampilan dan perilaku lahiriah belaka. Seperti contoh: orang-orang saleh hanya dilihat dari karena ia memanjangkan janggut dan terlihat hitam di keningnya (katanya sih disebabkan tanda bekas banyak sujud, semoga). Sering pula label takwa kepada orang-orang yang setiap kali salat di masjid selalu mengenakan kopiah haji, memakai baju koko (biasanya disebut juga baju takwa) dan selalu mengalungkan sorban di lehernya.

Benarkah kualitas seorang manusia, ketakwaan, kesalehan, dan keimanannya hanya dikalkulasi dari dimensi jasmaniah saja? Walaupun jawabannya jelas tidak, namun tidak bisa mengelak bahwa kita sebagai manusia memang tidak mampu mendeteksi atmosfer rohaniah seseorang. Kapasitas batiniah manusia menjasi transparan hanya bagi Allah dan malaikat-malaikat-Nya. Akan tetapi, menurut Imam Ali r.a., apabila seseorang telah mengenal hakikat kebenaran (I’rifil Haqqo), niscaya ia akan mengetahui siapa saja para pelaku kebenaran (Para ahlinya/ta’rifu ahlalu).

Ibaratkan saja seperti ini: Orang fisika pasti dia akan tahu siapa yang benar-benar paham ilmu fisika. Kalian pasti akan tahu siapa yang paham benar-benar paham dengan orang yang hanya tahu teori tanpa kerja realnya. Demikian pula dengan dunia kebajikan. Apabila kalian sudah paham dengan dunia kebajikan maka kalian juga akan bisa melihat siapa orang-orang yang benar-benar telah melakukannya atau memilikinya.

Dengan pemahaman seperti di atas, pastinya kalian akan tertantang untuk bersikap kritis. Kalian pun tak hanya terkungkung penampilan harfiah seseorang, tapi kalian akan melampauinya dan menilai secara holistik, “Bagaimana sikap dan perilakunya kepada Tuhan dan sesama insan?”, “Bagaiimanakah tindakannya saat dalam keramaian dan kesendirian?”, “Bagaimanakah akhlaknya sewaktu di rumah bersama keluarga dan di luar rumah? Bagaimana kemurahan hati, kelembutan tutur sapa, dan keuliaan akhlaknya dalam segala dimensi kehidupan?”

Harus kalian ingat bahwa penampilan fisik saja tak akan cukup untuk menjadi barometer justifikasi final .

Jika Seseorang dapat menjadi “laki-laki”

Berdasarkan janggut dan buah pelir,

Setiap kambing akan mempunyai

Cukup janggut dan buah pelir !

(Maulana Jalaluddin Rumi)

Al-Qur’an mengajarkan kita untuk berwawasan kritis, “Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya.” (QS. 17:36)

Maksudnya adalah penilaian kita terhadap segala hal mesti dilandasi perspektif yang memadai jangan sepotong-potong; dengan penglihatan kulli bukan juz’i, dengan tatapan integral bukan partial. Karena seperti yang dinyatakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi di atas, jika penglihatan kita hanya berhenti pada dimensi fisikal semata, lalu di manakah perbedaan antara seorang Muhammad dan Abu Jahl?

Wallahu a’lam bish showab.

Arina Mayanfa’una

KMNU UNDIP

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.