Etika Anak Terhadap Orang Tua

[ KAJIAN KITAB ].
“ETIKA PERGAULAN: Etika Anak Terhadap Orang Tua”

Imam Muhammad Nawawi al-Bantani menuturkan dalam kitabnya “Maraqil ‘Ubudiyyah Syarh ‘Ala Bidayatul Hidayah” pada bab “Etika Pergaulan” bagian: “Etika Anak terhadap Orang Tua”. Yakni sebagai berikut:

Jika engkau masih mempunya Ayah dan Ibu (atau salah satunya), maka etika anak terhadap kedua orang tuanya (yang muslim) ada dua belas macam, yaitu:

1. Mendengarkan perkataan mereka.

2. Berdiri menyambutnya ketika mereka berdiri demi menghormati dan memelihara kehormatan mereka, meskipun kedudukan mereka berada dibawahnya.

3. Mematuhi perintahnya selama perintah itu bukan dalam mendurhakai Allah SWT.

4. Tidak berjalan di depannya, tetapi di samping atau di belakangnya. Jika ia berjalan di depannya karena sesuatu hal yang mendesak, maka itu diperbolehkan.

5. Tidak mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua demi menjaga etika terhadap mereka. Ini adalah etika yang paling ditekankan sebagaimana dikatakan oleh ar-Ramli dalam Umdatur Rabih.

6. Menjawab Panggilan mereka dengan jawaban yang lunak seperti: Labbaik (Kupenuhi panggilanmu), atau dengan jawaban/kata-kata yang lembut yang menunjukkan penghormatan dan keta’dzhiman seorang anak kepada orang tuanya.

7. Berusahalah dengan keras untuk mencari keridhoan kedua orang tua dengan perbuatan dan perkataan.

8. Bersikaplah rendah hati dan lemah lembut kepada keduanya ketika melayani mereka.

9. Tidak mengungkit-ungkit kebaikan kepada keduanya maupun pelaksanaan perintah yang dilakukan olehnya. Seperti ia katakana: “Kuberi engkau sekian dan sekian dan kulakukan begini dan begitu kepadamu berdua”. Sebab perbuatan seperti itu bisa menyakitkan hati keduanya. Ada yang mengatakan, menyebut-nyebut kebaikan itu bisa memutuskan hubungan.

10. Jangan memandang dengan pandangan yang sinis.

11. Jangan bermuka cemberut atau bermuka masam kepada keduanya.

12. Jangan bepergian kecuali dengan izin keduanya. Yaitu misal seperti perjalanan untuk jihad, menziarahi para nabi dan wali serta perjalanan yang bisa mengancam keselamatan. Maka perjalanan semacam itu diharamkan apabila tidak diizinkan, meskipun diizinkan oleh yang lebih dekat darinya. Kecuali perjalanan untuk belajar ilmu yang fardhu, walaupun kifayah, seperti belajar nahwu dan derajat pemberian fatwa. Maka tidak diharamkan atasnya, meskipun tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya. Demikian disebutkan dalam Fathul Mu’in.

Adapun bagi yang kedua orang tuanya non-muslim, maka ia (anak) harus tetap mempergaulinya dengan baik dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan agama selama ia masih hidup. Wallahu a’alam!

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.