Urgensi NU Islam Indonesia : Produk Lokal yang Mulai Diserang Produk Impor

Bukan hanya barang-barang  seperti buah-buahan, sayur , daging sapi,
handphone, dan komputer saja yang bisa di impor, saat ini karena begitu
hebatnya manusia, paham-paham agama pun sudah menjadi  komoditi impor ekspor
yang menjanjikan. Jika dulu indonesia dijajah kekayaan alamnya yang sangat
potensial untuk menguasai perdagangan dunia, hari ini, paham-paham agama
juga digunakan untuk kepentingan  serupa, meskipun lebih seram, yaitu
‘menguasai dunia’.

Paham-paham apa yang dimaksud? Penulis, sebagai bagian dari umat islam,
jelas lebih tau mengenai paham-paham agama islam, karena itu yang
dibicarakan selanjutnya lebih mengenai paham-paham agama islam tersebut.
Agar lebih mudah, mari kita coba bandingkan dengan komoditi impor yang
berupa produk-produk pertanian.

“Tak semua tumbuhan dapat tumbuh di indonesia. Semua tumbuhan yang tumbuh
di Indonesia harus memiliki karakter dan ketahanan yang ideal, yang sesuai
dengan iklim dan kondisi alam di Indonesia” begitulah kurang lebih yang
dosen-dosen saya sampaikan disetiap kuliah. Memang pada kenyataannya
seperti itu, ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi agar suatu tanaman
dapat tumbuh disuatu tempat. Karena itulah kenapa Carica hanya tumbuh di
wonosobo, teh hanya ada di puncak dan dibeberapa tempat lain.

Begitu pula Islam Indonesia, mengapa Indonesia dominan bahkan hampir
semuanya bermahdzab Imam Syafi’i terkait fikih, jawabannya adalah karena
pada awal penyebaran Islam di Indonesia, mahdzab tersebutlah yang paling
sesuai dengan kondisi budaya asli indonesia. Sehingga dalam sejarahnya
islam dapat diterima tanpa ada paksaan dari penduduk aslinya. Para Wali
sangat memahami bahwa mereka harus memilih terlebih dahulu jenis dan Islam
seperti apa yang dapat tumbuh subur dan berbuah lebat di Indonesia. Karena
keputusan itulah, Islam Indonesia dapat berkembang dan dirasakan manfaatnya
seperti saat ini.

Sekitar abad 17-19 di dunia sudah akrab dengan istilah dijajah atau
menjajah. Nusantara pun sedang sekarat-sekaratnya di jajah. Pihak penjajah
selain menguras ke kayaan alam indonesia, juga menyebarkan agama lain guna
mengurangi kekuatan Islam di nusantara. Bahkan di dunia Islam sendiri,
juga terjadi hal yang serupa, Arab Saudi dengan pemahaman barunya tentang
islam, mengeluarkan aturan baru yang melarang dipraktekkannya pemahaman
islam lain yang tidak sesuai dengan pemahaman wahabi yang baru dianut oleh
Arab Saudi saat itu. Hal-hal inilah yang membuat para Kiyai di Indonesia
resah, sehingga dibentuklah Nahdlatul Ulama sebagai wadah dan jalan untuk
mempertahankan Islam Nusantara dan mengubah rencana Arab Saudi tersebut.
Apalagi pihak pemerintah Arab Saudi juga berencana menggusur Makan Nabi
Besar Muhammad Saw. Ini sudah keterlaluan. Berbeda dengan moratorium
perijinan penangkapan ikan oleh kapal asing yang membuat perusahaan asing
tidak mendapat uang penghasilan, “Moratorium Ibadah” ala Arab Saudi ini
sangat meresahkan karena terkait urusan agama dan akhirat. Selain itu,
alasan utama mengapa Nahdlatul Ulama harus menggagalkan rencana itu adalah,
karena adanya kebijakan wahabi itu akan merusak tatanan Islam yang sudah
dibuat oleh para pendahulu penyebar Islam di dunia. Sehingga bisa jadi
justru islam akan goyah jika kebijakan ini jadi diterapkan. Islam di tanah
air pun akan mengalami dampaknya, karena setiap muslim yang hendak
melaksanakan ibadah haji harus ke Mekkah dan Madinah yang notabanenya ada
di Arab Saudi.

Dalam periode selanjutnya, NU dan Indonesia menjadi saling terikat dan tak
bisa lepas. Tak seperti paham lainnya,  NU adalah paham keislaman yang
menjadi produk lokal asli nusantara yang sudah sangat sesuai dengan iklim
dan kondisi Indonesia. Islam yang toleran dan juga menjadi pondasi utama
eksistensi NKRI. Karena selain sebagian besar warga NKRI adalah NU, NU
jugalah yang dari masa ke masa tetap setia membela bangsa ini, bahkan
dengan gagah berani mengatakan bahwa “Membela Bangsa (Indonesia) Adalah
Sebagian Dari Iman. Kini, Indonesia telah dikenal sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini tentu membuat takut pihak-pihak
lain yang tak suka dengan Islam, sehingga dengan berbagai cara mencoba
ngurangi kekuatan Indonesia baik dari luar maupun dari dalam. Salah
satunya, yaitu mereka mengekspor paham islam transnasional  seperti
wahabi-salafi ke Indonesia untuk bersaing dengan produk lokal yang sudah
ada. Sehingga tak heran pula, paham salafi-wahabi yang sebenarnya tergolong
baru di Indonesia bisa tumbuh seakan-akan cepat (walaupun sebenarnya biasa
saja). Seperti komoditi baru yang mencoba membuka pasar, mereka datang
dengan semangat bergelora, rasa baru, kemasan yang memikat, dan tentu
dengan promosi dan pemasaran yang wah. Orang-orang pun beberapa ada yang
terpikat, khususnya mereka-mereka yang awam dan belum bisa membedakan mana
produk lokal mana produk asing, mana produk organik dan mana yang buatan.

Adanya pemahaman impor ini tentu sedikit mengganggu produk lokal, sehingga
penyebarannya harus dikurangi, kalau perlu sampai habis. Tapi apakah harus
diperangi? Sebaiknya tidak usah. Karena tak seperti produk lokal yang
ketersediaannya terjamin dan akan tumbuh serta panen setiap waktu, yang
namanya produk impor, tetap akan dibatasi oleh tanggal basi kadaluarsa.
Bandingkanlah antara padi dan kurma. Padi sebagai tanaman yg sudah ada
sejak dulu di Indonesia bisa tumbuh dan panen dua sampai tiga kali setiap
tahunnya, tapi kurma yang merupakan tanaman timur tengah, sangat sulit
tumbuh di Indonesia, tumbuh pun tak bisa berbuah, berbuah pun akan
menghasilkan buah yang kualitasnya rendah. Sehingga tak perlulah kita
begitu kawatir.  Dari pada sibuk mengurusi ‘kurma’ yang belum tentu tumbuh
di Indonesia, lebih baik kita mengurusi ‘padi’ agar hijaunya bisa
mensejahterahkan Indonesia. Muhamad Arifin

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.