Urgensi Ilmu Fiqih dalam Beragama

“furuudlu al-wudluu~i sittatun ….”

Kalimat di atas adalah cuplikan isi kitab Safinatun Najaa yang membahas tentang syarat-syarat wudhu yaitu ada enam. Kitab tersebut biasanya dipelajari di berbagai madrasah dan pesantren untuk tingkat dasar dalam rangka memenuhi mata pelajaran fiqh.

Di kalangan madrasah atau pesantren, ilmu fiqh menjadi ilmu dasar yang wajib dipelajari oleh para santri. Ada kitab mabaadiu alfiqhiyyahsafiinatu annajaafathu alqoriibfathu almu’iin dan sejenisnya yang menjadi pegangan dari mulai tingkat dasar, menengah, sampai uulaa. Berbagai macamnya kitab tersebut cukup menjadi buktibetapa ilmu fiqih adalah ilmu yang sangat penting dan kompleks. Bagaimana tidak? Seluruh ibadah mahdloh, mulai dari thaharah, pelaksanaan wudlu, sholat, sampai masalah haji bahkan yang lebih luas lagi yaitu tentang muamalah, jinayah dan sebagainya, kesemuanya itu harus sesuai dengan aturan fiqh yang telah diatur secara jelas oleh Imam empat madzhab yang menjadi panutan kaum ahlussunah wa al-jamaa’ah. Baik Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i maupun Imam Maliki, masing-masing mempunyai hujjah tersendiri dalam menetapkan hukum sehingga ada beberapa perbedaan yang mungkin ditemui dalam pelaksaaan fiqh dari keempat Imam tersebut.

Jika dapat disifati, ilmu fiqih merupakan jenis ilmu yang tegas. Artinya, dalam ilmu ini ditetapkan dengan jelas bagaimana melakukan ibadah yang sesuai dengan syariat islam. Kendati demikian, perlakuan fiqih juga tidak semestinya saklek.Menurut Abu Zahroh ada sebelas hal yang dapat dijadikan dasar dalam ilmu fiqih, yakni:Al-qur’an, As-Sunnah, ijma’, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ‘urf, maslahah mursalah, dzaroik, istihsab, dan syar’u man qoblanaa. Jadi, penerapan ilmu fiqih ini tegas namun tidak keras. Ada unsur penyesuaian terhadap kondisi sosio-masyarakat dimana sebuah hukum syariat itu diterapkan. Sebagaimana Imam Syafi’i yang berbeda dalam menerapkan hukum ketika Beliau hidup di Baghdad dan di Mesir, perbedaan itulah yang lebih lazim kita kenal dengan istilahqoul qodim dan qoul jadid.

Ada sebuah syair dalam kitab ta’liim al-muata’allim yang berbunyi:

Tafaqquh fa inna al-fiqha afdlolu qooidin # ilaa albirri wa attaqwaa wa a’ daali qooshidin

(Pahamilah!Sesungguhnya fiqh adalah seutama-utamanya petunjuk kepada kebaikan, taqwa, dan keadilan tujuan)

Syair di atas mengandung makna, bahwa sungguh ilmu fiqh adalah ilmu yang sangat penting bagi manusia yang beragama. Ilmu ini merupakan dasar seseorang dalam beribadah kepada Allah SWT. Namun, urgensi pemahaman mengenai ilmu ini kian terabaikan. Sebagian berpendapat bahwa ilmu ini hanyalah ilmufuru’(cabang) saja. Memang benar hanya furu’iyyah, tetapi dengan dilandasi ilmu inilah kita bisamelakukan hal-hal yang bersifat sakral di hadapan Tuhan. Tentang bagaimana tata cara bersuci yang benar, bagaimana urut-urutan sholat yang benar, semua itu akan dapat kita ketahui hanya dengan cara mempelajari ilmu fiqih. Bukankah amal ibadah yang dilakukan tanpa landasan ilmu itu akan sia-sia?

Jika diibaratkan dengan kehidupan, fiqih adalah jasad sementara tasawuf adalah ruhnya. Jasad tanpa ruh bagaikan seonggok mayat tak bernyawa. Sedangkan ruh tanpa jasad tentu akan sulit dikenali keberadaannya. Pada era modernisasi seperti sekarang ini, segalanya dibuat menjadi serba instan, termasuk dalam urusan beragama. Melakukan sholat sudah tidak peduli lagi dengan syarat sah dan rukunnya. Berwudhu pun hanya asal basah saja. Hal seperti inilah yang lambat laun akan mengikis kesakralan ilmu fiqih. Maka sudah menjadi sebuah kebutuhan dasar bagi kita umat islam untuk melestarikan eksistensi ilmu fiqih ini. Memang, diterima atau tidaknya sebuah amal ibadah merupakan hak prerogatif Sang Kuasa. Namun, ulama-ulama terdahulu sudah bersusah payah melakukan upaya ijtihad dalam memahami agama islam yang sekarang ini kita anut. Adalah sebuah keharusan bagi kita untuk bisa menjalankan apa yang menjadi hasil ijtihad mereka. Karena tidak ada yang pasti dalam beragama. Semuanya penuh dengan tafsiran. Tidak ada istilah cara beragama saya yang paling benar dan yang lain salah. Tidak ada ruginya juga bagi kita untuk tetap berusaha menjalankan agama dengan sebaik mungkin, tentu harus dilandasi dengan ilmu yang sudah jelas sanadnya hingga Rasulullah saw. Wallahu’alam (Abdulloh)

 

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.