Tradisi Slametan: “Relevansinya terhadap Interaksi Masyarakat di Era Modern”

Oleh: Aurellia Yasmin Azzahran dan M. Irfan Sholehudin Zuhri (KMNU UGM)

Individualisme adalah sifat yang melekat pada seseorang yang menganggap dirinya lebih penting dibanding orang lain. Mereka yang bersikap individualis selalu mementingkan dirinya sendiri, sehingga apabila kepentingannya sudah terpenuhi mereka akan kurang atau bahkan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Beberapa sikap yang mencerminkan sikap tersebut di antaranya kurangnya komunikasi antarindividu, misalnya dengan tetangga, serta tidak peka terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekitar.

Sikap individualisme menjadi salah satu dampak modernisasi bagi masyarakat urban sekaligus menjadi konsekuensi atas kemajuan zaman. Menghadapi tantangan tersebut, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masyarakat Islam memiliki sejarah dan cara tersendiri dalam mendakwahkan nilai-nilai agama di bumi Nusantara, yang senantiasa beradaptasi dengan perubahan zaman. Salah satu bentuk amaliyah yang eksistensinya masih terjaga hingga saat ini adalah slametan. Slametan atau kenduri merupakan amaliyah yang dipelopori oleh Sunan Bonang dan dikembangkan wali-wali lainnya. Tradisi ini merupakan bentuk respon beliau terhadap raja-raja terdahulu yang mengikuti agama Tantrayana dengan sekte Bhairawa. Agama Tantrayana adalah agama penyembah dewi bumi. Ketika beribadah, mereka akan melakukan ritual secara melingkar berkelompok di tempat yang bernama setra. Adapun setra terbesar berada di Majapahit yang bernama Setra Laya.

Ritual membentuk lingkaran itu disebut upacara panca makara atau dikenal sebagai upacara molimo: mamsa (daging), matsya (ikan), madya (arak/minuman keras), maituna (seksual), dan mudra (semedi). Lingkaran itu berselang-seling laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang, kemudian di tengah lingkaran diletakkan daging, ikan, dan arak. Setelah berdoa, mereka melampiaskan nafsu perut dan syahwat, kemudian bersemedi.

Sunan Bonang berinisiatif membuat acara serupa, tetapi dengan isi berbeda. Kala itu, beliau masuk ke Candra Bhirawa, pusat Bhairawa Tantra yang ada di pedalaman Kediri, dengan membuat perkumpulan berbentuk lingkaran yang hanya terdiri dari kaum laki-laki dan terdapat makanan di tengahnya. Di samping itu, beliau bermunajat kepada Allah SWT. Inilah yang disebut kenduri atau slametan. Sampai saat ini, kenduri masih dilaksanakan terutama oleh masyarakat asli Jawa.

Slametan adalah bentuk tradisi keagamaan yang mampu menciptakan kerukunan hidup antaranggota masyarakat. Slametan juga dapat menumbuhkan rasa nasionalisme dalam mempertahankan budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan adanya tradisi slametan, masyarakat memiliki wadah untuk melakukan interaksi sosial dalam membangun sebuah kebersamaan dalam tataran kehidupan bermasyarakat. Para hadirin kenduri berasal dari berbagai lapis masyarakat sehingga tidak langsung acara ini mempersatukan kehidupan masyarakat yang beraneka ragam.

Dalam pelaksanaannya, seluruh masyarakat diperlakukan sama tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, kasta, maupun pangkat. Sebelum acara inti dimulai, masyarakat yang telah datang mereka saling berdiskusi, bertukar informasi, atau sekadar berpendapat mengenai isu publik sehingga terciptalah interaksi sosial yang memupuk rasa kebersamaan.

Slametan dilaksanakan sebagai wujud nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang selalu dilestarikan masyarakat. Secara tidak sadar kenduri membentuk rasa persatuan dan kesatuan. Dengan masih dilestarikannya tradisi slametan, tanpa disadari kesenjangan hidup bermasyarakat dapat tercegah, tali persaudaraan semakin erat, rasa empati terhadap sesama tumbuh kuat, serta karakter saling berbagi dalam mensyukuri nikmat Allah SWT meningkat.

Pada tanggal 7 Februari 2023, NU menginjak usia satu abad. Oleh sebab itu, kebersamaan dan kekeluargaan menjadi salah satu nilai penting di kalangan Nahdliyin. Sementara itu, seiring berjalannya waktu, kondisi kehidupan sosial berangsur-angsur mengalami perubahan. Hal tersebut disebabkan oleh revolusi industri, teknologi, pasar, transportasi, dan lain sebagainya. Industrialisasi mengubah pola kehidupan masyarakat dari agraris menjadi industri. Sebagai akibat dari industrialisasi, dampak positif yang terlihat adalah pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat. Sedangkan, dampak negatif yang muncul terlihat dari sisi sosialnya, yaitu perubahan masyarakat menjadi masyarakat individualis. Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI), Gendhotwukir menyatakan bahwa ideologi individualisme muncul karena arogansi kaum industrialis yang memunculkan praktik perbudakan sehingga menciptakan strata kelas.

Dalam konteks tersebut, orang-orang yang tinggal dan hidup di daerah kota sering dianggap berjiwa individualis dan memiliki rasa kebersamaan yang minim. Relevansi antara sikap individualis masyarakat tersebut terhadap tradisi kenduri tentunya dapat dilihat dari dampak yang diakibatkan. Masyarakat kota yang cenderung memiliki rasa kebersamaan minim kadang disebabkan oleh faktor pekerjaan. Mereka terbiasa kerja dari pagi hingga malam, lantas waktu sisa digunakan untuk beristirahat, sehingga mereka tidak memiliki waktu berkumpul dengan tetangga bahkan untuk sekadar bercengkerama. Sebab itulah, orang kota tidak melestarikan tradisi keagamaan seperti slametan. Berbeda dengan masyarakat desa yang masih memegang teguh tradisi keagamaan lokal.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang masih melestarikan tradisi slametan atau tradisi lainnya memiliki jiwa kekeluargaan dan kebersamaan yang lebih erat, memiliki rasa empati yang besar, dan kesenjangan sosial di lingkungan mereka dapat tercegah di tengah maraknya sikap individualis masyarakat yang mengalami perubahan sosial. Hal inilah yang menjadi salah satu nilai penting pada usia NU yang menginjak satu abad. Tradisi keagamaan yang masih mereka lestarikan membawa hikmah untuk kehidupan sosial masyarakat, bahkan dengan seiring terkikisnya nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan di lingkungan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *