Tradisi Mudik Dalam Nilai Spiritual

Oleh: Adam Rouf Hidayat

Jelang Lebaran, kaum urban berbondong-bondong kembali ke kampung halaman. Mereka mudik untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri. Tradisi mudik selalu jadi agenda tahunan yang menjadi sorotan.

Bukan hanya sekadar merayakan Lebaran, tradisi mudik di Indonesia dinilai memiliki kekhasan dibandingkan dengan negara lain yang juga punya tradisi serupa seperti China saat Imlek dan Amerika Serikat saat Natal.

Tradisi mudik Lebaran seakan menjadi ritual bagi seluruh kalangan. Baik kalangan ekonomi menengah ke bawah maupun ke atas ikut menikmati tradisi tersebut. Hawa kampung halaman dan berkumpul keluarga terasa sangat kental.

Dalam budaya Jawa ada istilah sangkan paraning dumadi. Sangkan paran berarti asal mula tujuan atau arah dan dumadi berarti kejadian atau yang terjadi. Seseorang harus berusaha menggapai kesadaran hidup. “Tujuanmu apa? Untuk apa?Dan ke mana?”

Sedangkan mudik (menuju udik) atau pulang ke kampung halaman/desa, dari hilir (perantauan) kembali ke hulu (kampung halaman), memiliki berbagai motivasi yang menyertai para pemudik. Misalnya, rindu kampung halaman, sungkem orang tua, silaturahmi dengan saudara, nyekar anggota keluarga yang telah meninggal dunia, dan bahkan ada yang ingin berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Bahkan, tradisi mudik tersebut juga berpengaruh pada pergerakan perekonomian di pedesaan. Mayoritas mereka pasti mudik ke desa. Keterkaitan mudik dengan pertumbuhan ekonomi di desa bisa diamati melalui kebiasaan pemudik yang pulang kampung dengan membawa hasil kerja di perantauan berupa uang dan barang dalam jumlah besar. Mereka yang datang dengan berbagai latar belakang sosial biasanya membagikan bingkisan Lebaran kepada keluarga dan tetangga terdekat.

Tradisi berbagi yang dilakukan pemudik itu merupakan implementasi ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi (religious giving). Para pemudik juga mendapat spirit dari ajaran Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).

Jika dalam tradisi mudik Idul Fitri kita harus mempersiapkan bekal yang begitu banyak, untuk kembali kepada Allah jelas dibutuhkan bekal yang lebih banyak lagi. Derajat ketakwaan sebagai hasil ibadah puasa bisa dijadikan bekal yang sangat berharga untuk kembali kepada Allah.

Selama berpuasa, kita juga telah berlatih untuk menahan lapar dan dahaga. Maka, di tengah situasi masyarakat miskin di pedesaan, pesan puasa tersebut rasanya bisa dijadikan spirit untuk membangun solidaritas sosial.

Melalui tradisi mudik, kita juga memperoleh pelajaran betapa pemudik telah mengamalkan pesan puasa dalam wujud yang sangat positif. Mereka datang dari tempat yang jauh karena didorong keinginan untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan dengan keluarga dan tetangga. Mereka juga mengajarkan berbagi kebahagiaan dengan sesama melalui pemberian angpao, pakaian, dan bingkisan Lebaran lain.

Semoga Hari Raya Idul Fitri bukan hanya sekadar kemenangan umat Islam secara jasmani namun juga secara ruhani. Menjadi umat yang memiliki kualitas keimanan lebih baik setelah hari Raya Idul Fitri untuk mengumpulkan bekal mudik ruhani yang pasti akan dialami oleh setiap manusia.

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.