Tetap NU di Tengah Hiruk Pikuk FallenTime

Seperti tak pernah kekurangan ide, setiap waktu selalu saja muncul tema-tema perdebatan yang diributkan oleh warga Indonesia khususnya di umat Islam sendiri. Miris memang, di agama yang mengajarkan mengenai “perbedaan adalah rahmat” ini, justru akhir-akhir ini sebagian kecil, bahkan hanya satu atau dua kelompok dari sekian banyak kelompok, selalu saja menjadikan perbedaan sebagai tempat berpijak, alasan bergerak, dan semangat berdakwah. Bayangkan saja, bukan hanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama lain, seperti perbedaan mengucapkan Natal, Imlek, Nyepi, dll, bahkan yang menyangkut Islam sendiri pun ada saja yang dibahas, seperti perayaan Maulid Nabi, tahlil, pengucapan minal aidzin, dll. Bulan ini pun, sama, ada satu bahasan besar yang diangkat, yaitu FallenTime (baca : Val*ntin*).

Haruskah NU juga khawatir dengan FallenTime ini? Jawaban pertanyaan itu, “Tentu kekhawatiran haruslah ada”. Berbagai fakta telah membuktikan bahwa adanya hari FallenTime –setiap tanggal 14 Februari– membuat banyak generasi muda terjerumus dalam kemaksiatan dan kehancuran, budaya bangsa pun akhirnya bergeser sedikit demi sedikit ke arah budaya barat yang begitu bebas tanpa batas. Sehingga kekhawatiran pasti haruslah ada dan dibarengi dengan upaya mengurangi efek kerusakannya. Upaya ini bisa dilakukan, salah satunya dengan membantu saudara-saudara kita yang lain yang dengan terang-terangan menolak adanya hari FallenTime, dengan kampanye “No #FallenTime”, melaksanakan Hari Tutup Aurat, Hari Kerudung, Jilbab, dan Hijab, dll. Namun lebih dari itu NU haruslah tetap NU.

Tetap menjadi NU di tengah hiruk pikuk FallenTime –dan diwaktu yang lain– adalah hal pertama dan utama yang harus dipegang dan diterapkan. Sejak bahkan sebelum NU berdiri, para wali dan kyai sepuh telah mengajarkan kepada kita bagaimana etika-etika menyebar agama Allah (berdakwah) yang arif dan moderat. Para wali dan kyai kita telah mencontohkan, agar Islam mampu masuk ke dalam sanubari setiap insan, maka penjelasannya tidak bisa dilakukan dengan mempertentangkan antara yang hitam (maksiat, kedholiman) dengan yang putih (Syariat), apalagi dengan penolakan langsung, yang dalam arti lain juga berarti perang. Tak pernah ada sejarah di Indonesia Islam datang dengan perang. Justru dengan menunjukkan kedamaian dan keteduhan dalam Islam yang mampu menampung segala budaya dan adat istiadat sekaligus menebar rahmat untuk sekalian alam, dengan begitulah Islam dapat diterima di nusantara dan berkembang seperti sekarang. Dakwah dengan sabar dan bertahap, penjelasan yang santun dan istiqomah, dengan cara beginilah para pendahulu kita membuat Indonesia berbudaya dan Islami dengan warnanya sendiri.  Metode dakwah yang seperti inilah yang akhirnya menjadikan pesantren selain sebagai pusat penyebaran agama, juga sebagai pengokohan budaya bangsa.

Sehingga jika kita tarik ke belakang, mengapa budaya barat sekarang dengan mudah masuk ke Indonesia, salah satu dan mungkin menjadi faktor utamanya adalah, karena pesantren dan cara berdakwah para wali dan kyai sepuh, saat ini sudah mulai ditinggalkan dan dilupakan. Bukankah yang banyak terperangkap dalam budaya barat non Indonesia ini adalah kaum-kaum modernis dan metropolis yang jauh dari pesantren? Justru kaum-kaum tradisional-lah tetap aman dalam gempuran budaya asing dan tetap kokoh mempertahankan budaya Indonesia.

Karena itu, kaum nahdliyin harus benar-benar menyadari bahwa untuk mengurangi atau sampai menguras habis dampak negatif Hari FallenTime tidak bisa dilakukan dengan hanya mengadakan kegiatan-kegiatan tandingan dan gerakan sosial melawan hari FallenTime tersebut. Dibutuhkan dakwah yang istiqomah, penjelasan agama yang matang dan terus menerus kepada penerus bangsa, pendidikan rutin yang menguatkan budaya, dan contoh nyata disetiap aspek kehidupan, dengan begitu adek-adek dan anak-anak kita dengan sendirinya akan paham, mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk masa depan dan masa akhiratnya. Dengan begitu, bukan hanya FallenTime saja yang akan sirna, namun hal-hal lain yang bertentangan dengan nilai dan norma agama dan bangsa pun akan ikut ditinggalkan.

Sekali lagi, tetaplah NU disetiap waktu, para wali dan kyai sepuh telah mengajarkan kita, bukan untuk sekedar menjadi event organizer yang handal, tapi lebih dari pada itu, kita dituntut untuk menjadi penyebar ilmu, agama Islam yang arif dan membawa rahmat bagi sekalian alam.

Muhamad Arifin

Note: Mohon Maaf saya menggunakan istilah “FallenTime” untuk sebutan Tanggal 14 Februari

Sumber : kmnu-ipb.net

IFrame

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.