Si Kristen dan Pesantren

Aku, Aulia, dan Airlangga terbahak-bahak saat kami menyadari kaki kami bengkak karena perjalanan melelahkan dari Yogyakarta-Sleman-Purworejo-Jakarta dengan modal tiga ratus ribu rupiah untuk bertiga. Namun, bukan tentang kaki yang bengkak yang hendak ku ceritakan dalam halaman ini, tetapi mengenai inspirasi yang membengkak akibat perjalanan ini. Perjalanan ini tidak hanya sekedar berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga perjalanan ke dalam diri sendiri dalam rangka mengenal diri sendiri atau yang disebut sebagai ‘ziarah diri’

Kami adalah 3 dari antara 47 peserta Youth Adventure dan Youth Leaders Forum 2014 yang diadakakan oleh Gerakan Mari Berbagi.  Sesuai nama gerakannya, maka petualangan yang kami lakukan juga bertema berbagi. Di kota pertama yaitu Sleman, kami melakukan yang namanya Ziarah Pengemis, dimana kami harus meminta berbagai bantuan dari orang lain agar dapat makan dan beristirahat serta punya sumber daya yang cukup untuk melakukan perjalanan selanjutnya ke Purworejo dan Jakarta. Sedangkan di kota kedua, yaitu Purworejo, kami diharuskan melakukan kegiatan berbagi dengan orang lain, atau yang disebut Ziarah Penderma. Di dalam bus malam Purworejo menuju Jakarta, momen-momen inspiratif itu berkelabut di kepalaku, menjadi penawar rasa lelah dan bosan berbelas-belas jam duduk di dalam bus.

Di dalam kepalaku, aku kembali ke titik itu. Titik dimana aku berdiri di depan sebuah pondok pesantren di Sleman. Aulia dan Airlangga sudah maju beberapa langkah di depanku. Entah mereka tahu atau tidak, aku terguncang saat itu. Aku sangat takut. Sekuat tenaga, aku mengontrol emosiku. Aku adalah seorang yang beragama Kristen dan aku sebisa mungkin menghindari pemeluk agama Islam yang ku anggap fanatik, termasuk orang-orang pesantren. Jauh sebelum titik ini, aku mengalami hal yang tidak menyenangkan dan sampai sekarang masih aku ingat. Waktu itu, aku masih duduk di bangku SMP. Salah satu guru agama Islam di sekolahku sepertinya sangat benci dengan orang Kristen. Tiap kali beliau masuk kelas, ia pasti akan bercerita dengan banyak sindiran terhadap orang Kristen. Menit-menit sangat menyiksa dan aku seperti sedang ditertawakan oleh teman-teman sekelasku. Setelah cerita itu selesai, barulah kami yang non-muslim diperkenankan keluar kelas. Hal itu terjadi sangat sering selama 2 tahun ia mengajar di kelasku. Ini membuat hari dimana ada pelajaran agama Islam menjadi sangat menakutkan bagiku. Sampai suatu hari, ada rapat OSIS di dalam musholla sekolah dan beliau berdiri di dekat pintu. Karena tidak berani masuk ke musholla, aku hanya berdiri sebentar didekat sepatu-sepatu diletakkan dan setelah itu dengan dada sesak dan mata basah aku pergi dan tidak mengikuti rapat. Sejak masa-masa itu, aku menjadi sangat tidak nyaman dengan pemuka agama Islam.

Ketakutan akan rasa ditolak, disalahkan, dianggap najis, kafir, dipojokkan menyelimuti hatiku. Otakku pun mendukung dengan logikanya: “kenapa harus ke pesantren, toh kami sebenarnya sudah mendapatkan izin menumpang di kontrakan temanku di Sleman”.

Tiba-tiba Aulia bertanya “Kakak, ga apa-apa Kak?”

Aku bingung sebenarnya harus menjawab apa. Aku berusaha berdialog dengan diriku sendiri. “Mungkin ini adalah tantangan pertama untuk melawan ego mu. Kamu harus keluar dari zona nyamanmu, dan coba lihat ada apa di dalam sana” ucapku dalam hati.

Aku kemudian menjawab Aulia dengan pelan, “Ga apa-apa.”

Setelah beberapa menit berdiri di luar, kami di sambut oleh seorang santri. Pergulatan di dalam diriku belum selesai. Ada bagian diriku yang berharap, semoga kami tidak bisa menginap di pesantren. Airlangga kemudian menjelaskan kondisi kami saat itu kepada Santri dan Istri sang Ustadz. Aku masih berharap kami tidak tidur di sana. Beberapa saat kemudian, Airlangga masuk ke ruangan tempat kami menunggu dan memberi kabar bahwa kami diizinkan menginap. Bukannya senang, aku malah kecewa. Aku masih takut.

Menit demi menit berlalu, kami disambut hangat oleh Istri Sang Ustadz. Keramahan beliau sedikit memberi ketenangan di dalam hatiku yang sedang riuh. Kami disuguhkan minum, makan, cemilan, dan yang terpenting senyum yang tidak berhenti menyungging di wajah si Ibu. Beberapa lama kemudian Ustadz datang, dan dengan keramahan yang sama ia menemani kami. Malam berganti pagi, dan kami harus bersiap meninggalkan kota Sleman untuk menuju Purworejo. Sebelumnya seorang santri, memberikan kami sarapan bubur gudeg yang lezat. Lezat sekali karena terasa tulusnya. Selama interaksi yang terjadi dengan Ibu, Ustadz, dan Santri, tidak ada rasa risih yang mereka tampakan ketika aku berada di dekat mereka. Ketika Ustadz bicara pun, ia menanyakan namaku dan melibatkan aku dalam pembicaraan.

“Pluralitas adalah kenyataan kehidupan yang harus kita hargai. Binatang saja kita rawat, apalagi saudara kita sesama manusia, tidak ada alasan untuk menolak saudara yang berbeda keyakinan.“ ujar Ustadz.

Dari Ustadz, aku belajar bahwa kita boleh menceritakan iman kita kepada orang lain, tetapi tidak dengan memaksa dan tidak menjelekkan kepercayaan orang lain. Ya, masalah perbedaan bukanlah bagaimana memaksa agar kita menjadi sama, tetapi bagaimana kita menerima perbedaan itu.

Di dalam pesantren, aku seorang Kristen, memaknai apa itu berbagi dalam perbedaan.

Sumber : http://apridasilitonga.blogspot.com/2014/02/si-kristen-dan-pesantren.html

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.