SEBELAS DUA BELAS PROMOSI KHILAFAH DAN MEIKARTA

Oleh Basunanda Targaryan

Kembali lagi, dunia begitu ramai tentang pendukung khilafah. Beberapa saat yang lalu di sebuah kota di Indonesia, kembali terjadi penolakan terhadap da’i yang begitu semangat menyebarkan doktrin khilafah. Dai ini keluar masuk majelis dengan penuh keyakinan pada tegaknya sistem khilafah seperti yang dijanjikan oleh zaman.

Titik permasalahannya bukan pada pendai, tetapi pada wacana tentang tegaknya khilafah. Benar saja tentang sebuah pertanyaan yang pernah diajukan oleh Prof Nadirsyah Hosen tempo hari di UIN Sunan Kalijaga. Ini merujuk pada sistem Khalifah yang mana?Khulafaur Rosyidin jelas menggunakan nama sematan Khilafah, tetapi Daulah Umayyah dan Abbasiyyah juga menggunakan nama itu untuk pemimpin dinasti mereka.

Kemonarkian dari Umayyah dan Abbasiyyah bahkan berlanjut pada era Ottoman di Turki, menjadikan nama pemimpin dari pemerintahan mereka sebagai seorang Khalifah. Tidak usah terlalu jauh ke luar negeri, di dalam negeri saja terdapat seorang Khalifah di gelar seorang Raja Mataram, baik Yogyakarta maupun Surakarta, karena mewarisi gelar dari datuk mereka yang menggunakan kosakata Khalifah tersebut.

Indonesia merupakan negeri yang permai, founding father membangun bangsa ini atas kebhinekaan. Tidak berdasarkan agama tertentu, tetapi menghormati agama dengan negara yang beragama. Secara jelas disematkan pada Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah mengkristalnya nilai-nilai keagamaan dan budi itu dalam masyarakat Indonesia. Implikasinya pada pendirian bangsa ini, para founding father tidak lagi bingung harus merumuskan Indonesia yang seperti apa.

Berkaca kembali pada negeri di padang pasir, sepanjang kurun waktu abad pertengahan darah begitu banyak tertumpah hanya untuk mencari legitimasi kedaulahan Islam. Timur Lenk misalnya, separuh hidupnya dihabiskan dalam medan pertempuran dalam rangka meluaskan wilayah kedaulahan. Hingga kemudian terbentur pada kekuatan militer Mamluk dan Ottoman. Tidak hanya kisah Timur Lenk, sejarah mencatat bahwa bumi tengah bergejolak pada abad pertengahan.

Yusdani (2015) mengungkapkan bahwa tidak mengherankan mengapa sebagian bangsa-bangsa muslim yang memperoleh kemerdekaan pasca-Perang Dunia II bingung dalam memilih dan menetapkan sistem politik yang harus mereka laksanakan; demokrasi, kerajaan, atau sistem otoriter. Wajar saja karena selama abad pertengahan tidak lagi dibahas bagaimana implementasi kekhalifahan dalam membentuk suatu negara. Cendekiawan cenderung melepas diri dari kekuasaan dan menjadi sufi atau pilihan lainnya mejadi alat pemerintah dengan melegitimasi segala kebijakannya.

Kemudian muncullah bibit Hizbut Tahrir mencari sosok sistem kenegaraan yang cocok. Hal ini belum teruji. Bahkan jika pernah mendengar curahan hati para deportasi negara ISIS – yang juga mengangkat isu Khilafah – negara yang dijanjikan dalam setiap orasi hanya omong kosong, karena kenyataan di lapangan amat sangat berbeda. Sistem ini masih begitu sulit dinarasikan dan diimplementasikan secara baik dan benar.

Kembali lagi Yusdani (2015) memberikan pendapat bahwa perihal negara Islam yang mengklaim berkonstitusi Islam menampilkan wajah yang tidak (kurang) demokratis disebabkan kondisi subyektif (faktor manusia) yang memerintah negara tersebut (khilafah) belum memiliki kesadaran penuh dengan ajaran-ajaran Islam yang dipeluknya. Sehingga jelas sudah pada intinya, tergantung pada faktor manusianya. Dan hal ini dipengaruhi oleh antropologis dan historis dari daerah yang membentuk karakter manusia tersebut.

Menarik segala pembahasan tersebut ke Indonesia, maka konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia sudahlah final. Dengan menjunjung nilai beragama maka hal ini yang dibangun oleh Indonesia adalah karakter manusianya. Tidak perlu lagi, percobaan atas sistem yang belum jelas untuk diterapkan pada negara yang sudah final. Jika semua harus disolusikan dengan mendirikan Khilafah, maka hal itu terdapat kesalahan, karena yang disolusikan bukanlah sistem kenegaraannya tetapi faktor manusianya.

Khilafah akan menagih janjinya seperti pada saat disepakatinya Piagam Madinah. Umatlah yang akan membaiat kepada Khalifahnya sesuai dengan keadaan zaman pada saatnya. Khilafah adalah janji Allah, tidak ada yang tahu kapan Al Mahdi turun dan dibaiat oleh seluruh umat Islam. Kontrak Sosial-lah yang akan menentukan Khilafah tersebut tanpa perlu ceramah ngalor-ngidul mempromosikan sistem negara Khilafah. Tidak ada bedanya dengan Meikarta.

(Basunanda Targaryan/ Arin fatma)

Referensi:

Yusdani, Fiqh Politik Muslim Progresif, Kaukaba, Yogyakarta, 2015

Nadirsyah Hosen, Seminar Kebangsaan: Khilafah adalah sebuah Kekhilafan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017

Leave A Reply

Your email address will not be published.