Revolusi Hijau dan NU

Revolusi hijau mungkin pernah menjadi cerita indah maupun buruk bagi kita, tetapi negara mana yang tidak pernah gagal dalam bersejarah. Negara tidak boleh jadi pecundang kepada masalahnya sendiri, dan negara tak akan ada apa-apanya jika masyarakatnya tidak bergerak. Optimisme perbaikan harus tertanam mantab dalam benak setiap insan, terutama pemuda. Atau kita akan menjadi seperti bakteri ragi yang melakukan suatu hal yang akan membunuh generasinya sendiri, atau nenek moyang yang meninggalkan amal jariyah pahala untuk anak cucu kita. Kalau kita sudah berani memulainya, kita juga harus berani mengakhirinya.

Coba kita pikirkan kedepan terkait dampak dari revolusi hijau. Akankah generasi-generasi penerus mau melanjutkan semuanya, jika generasi-generasi sekarang yang sudah terlanjur salah tidak mau memperbaiki kesalahannya? Akankah Indonesia ini dengan kekayaan sumber daya alamnya bisa kembali memperbaikinya? Bisa jadi ini akan menjadi amal jariah, baik jariyyah pahala, atau justru jariyah dosa karena kutukan anak cucu kita.

Setidaknya ada 5 hal yang menjadi solusi untuk revousi hijau. Poewanto dan Watimena (2012) dalam bukunya “Merevolusi Revolusi Hijau, pemikiran Guru Besar IPB.” Hal perlu di revolusi kembali dari revolusi hijau adalah pemanfaatan lahan pertanian diluar jawa, pemuliaan tanaman spesifik lokasi, pertahankan lahan subur pulau jawa yang tersisa, pembangunan pertanian berbasis SDM untuk kesejahteraan petani, dan pembangunan energi nonfossil, serta tentunya dengan pendidikan pertanian.

Revolusi hijau dan NU

Nahdliyyin dengan 80 juta penduduknya, dengan persebaran tidak merata yang terkumpul padat di pulau Jawa, dengan persebaran 60% di wilayah pedesaan merupakan salah satu komunitas masyarakat yang terpapar langsung terevolusi hijau dampak revolusi hijau. Sebagai petani, sebagian besar petani nahdliyin merupakan petani kecil yang menjadi salah satu “korban” kebijakan penerapan revolusi hijau. Meski begitu, mereka juga pernah diuntungkan dengan cerita manis revolusi hijau. Kondisi pertanian pasca swasembada tahun 84 yang semakin buruk merupakan gambaran nyata dari mulai munculnya dampak
negatif penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan.

Sebagai pelaku dan korban cerita revolusi hijau, setidaknya NU harus semakin sadar untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan isu pertanian. karena mau tidak mau secara langsung mengenai relung hajat hidup jamaahnya. Warga NU memang pernah menikmati revolusi hijau, namun semakin kesini mereka dihantui ketidak pastian hidup. Sebagai pelaku pertanian, diakui bahwa banyak orang NU yang mengkonversi lahan, anak-anak NU banyak yang tidak lagi mau meneruskan menjadi turun ke sawah, mereka cenderung miskin, sebagaian mereka terbelakang, kurang berpendidikan, terbatas segala akses apapun dan mungkin menjadi sebagian masalah dari negara. Namun dalam pandangan saya, mereka menjadi demikian bukanlah secara kebetulan, namun ada sejarah panjang yang mengakibatkan mata tulus mereka teracuni oleh kebijakan para elit yang kebetulan memegang peran besar di Nusantara. Mereka adalah korban situasi yang mungkin kitapun tak bisa menyalahkan situasi itu sendiri.

Sebagai kader muda NU terdidik, sudah selayaknya kita tergerak untuk memikirkan nasib mereka, atau mungkin nasib kita sendiri, yang adalah anak para petani NU itu. Mari kita memperbaiki nasib kita dan nasib mereka. Setidaknya dengan membangun manusia 80 juta, kita sudah membangun Indonesia. dan inilah salah satu bentuk bela negara.

Tak perlu susah-susah mengubahnya, jika anda pegawai negeri, bekerjalah dengan baik demi negara, tak ada korupsi tak ada nepotisme. Jika anda pengusaha, jadilah pengusaha yang jujur yang bersedia mengulurkan tangan untuk mereka. Dan jika anda
pelajar, belajarlah dengan sebaik-baiknya pelajar, dari jurusan dan konsentrasi apapun anda berasal, karena setiap kita adalah masa depan Indonesia. Ingat, ternyata banyak sekali masalah pertanian yang terkadang diluar kuasa orang-orang pertanian (seperti : politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain). Semoga kita selalu teringat dawuh guru kita, KH.Hasyim Asy’ari bahwa “Petani adalah Penolong Negeri” (Hasan/Etha)

Hasan Bisri, Mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman IPB.

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.