Santri, begitu orang-orang menyebut kaum sarungan yang tinggal di pesantren ini. Pesantren sendiri merupakan gubahan kata dari tempat domisili para santri yaitu Pesantrian. Pondok Pesantren kemudian menjadi sebuah tempat dimana berkumpulnya para santri untuk mendalami dan menelaah lebih jauh tentang ilmu agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat pembagian santri itu sendiri. Hal ini dikarenakan dinamika proses yang terjadi di dalam pesantren. Adanya santri dari luar pesantren yang ikut mengaji membuat dikotomi dalam pendefinisian santri. Pada akhirnya dikenal di kalangan masyarakat Santri Kampung (Santri Kalong) dan Santri Mukim.
Santri Mukim menempati strata lebih tinggi dengan kedudukannya yang bermukim atau berdomisili di pondok. Sedangkan dua definisi lain tentang santri merupakan khasanah yang dikembangkan menjadi ciri dari Islam Nusantara. Santri Kampung atau Santri Kalong hanya terlihat di kompleks pesantren tatkala proses mengaji diadakan saja. Keduanya tidak terdaftar menginap tetap di pondok, tetapi kembali pulang ke rumah masing-masing selepas pengajian usai.
Santri Kampung memiliki beberapa perbedaan mencolok dari Santri Kalong. Meskipun memiliki persamaan subjek yang berasal dari luar komplek pondok. Kampung disini memberikan arti bahwa santri ini memiliki tempat tinggal di kampung, bukan di pondok, begitu arti secara luasnya. Dalam pemaknaan sempitnya, kampung ini merujuk pada kampung dimana pesantren itu ada.
Santri Kampung dalam arti sempit sangat berkaitan dengan sosiologis pesantren yang cenderung menggunakan nama kampung dimana ia berdiri. Sebut saja, seperti Pondok Pesantren Krapyak, Pondok Pesantren Lirboyo, Pondok Pesantren Berjan, Pondok Pesantren Ngrukem dan pondok lainnya. Padahal pondok-pondok tersebut juga memiliki nama lain yang menggunakan khasanah Bahasa Arab seperti Hidayatul Mubtadi-ien, Al Munawwir, An Nawawi, An Nur, Al Anwar atau yang lainnya.
Santri Kampung yang merupakan santri asli dari kampung tersebut sebenarnya memiliki peran yang cukup signifikan. Hal ini akan mempunyai pengaruh besar ketika pada saat ini Islam yang telah dijalankan di masyarakat mengalami serangan dari Islam garis keras. Pola-pola Santri Kampung dan alumninya ini memiliki peran sebagai benteng kuat untuk mempertahankan tradisi itu.
Santri Kampung memiliki jalinan kuat dengan struktur resmi masyarakat seperti kepemudaan (karang taruna), perangkat rukun tetangga, rukun warga dan kampung itu sendiri. Pada kedudukan inilah hal prestisius itu terlahir. Pihak luar yang hendak merubah tatanan akan mengalami penolakan secara terstruktur dari masyarakat.
Peran serta pola gerakan dari Santri Kampung dalam masyarakat sangat diperlukan saat ini. Tetapi hal ini memiliki hambatan yang cukup berarti. Jika tidak didukung langsung oleh masyarakat atau minimal oleh orang tua maka akan sangat berat menjadikan pola gerakan Santri Kampung sebagai benteng penjaga tradisi. Bukan untuk pelarangan dalam berpikir bebas, akan tetapi perlu kiranya juga memikirkan apa yang telah menjadi khasanah dalam masyarakat itu sendiri tetap terjaga.
Hambatan lain yang menjadikan gerakan Santri Kampung tersebut kurang dukungan adalah pola pergaulan pemuda saat ini. Siswa-siswi sekolah cenderung menghabiskan waktu mereka di sekolah dengan program full day ataupun melalui bimbingan belajar di luar. Selain itu pun, pada saat ini pemuda tengah berada di krisis moral dimana sifat klitih, tawuran, mesum, perkosaan dan lainnya menjadi trend.
Keberadaan spesies yang bernama Santri Kampung sepertinya perlu diperhatikan. Terlebih pengarahan terbaik dari orang tua dan masyarakat. Kontraprestasi yang dijanjikan oleh Kang Santri akan dirasakan tersendiri baik orang tua ataupun masyarakat umum. Santri Kampung adalah penjahit interaksi sosial budaya dan agama dalam masyarakat agar tetap lestari. Salah satu pola pengkaderan dari sistem pendakwahan Islam ala Wali Songo agar tradisi dan budaya Islam Nusantara tetap ada yang menjaga hingga yaumil akhir.(Mazdan Maftukha)