NU, Perempuan, dan Bonus Demografi

Tahun 2012 lalu, konsultan internasional McKinsey Global Institute memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh dunia pada 2030. Sementara Price water house Coopers memprediksi Indonesia berada pada posisi keempat pada 2050 (Kompas, 16 September 2017). Posisi itu dicapai, antara lain, karena Indonesia memasuki periode bonus demografi sejak tahun 2015 dan puncaknya pada 2020-2040.

Namun itu bukan tanpa catatan. Salah satunya, Indonesia harus bisa memberdayakan separuh warga negaranya, yaitu perempuan. Separuh dari jumlah penduduk usia kerja saat ini adalah perempuan, karenanya partisipasinya dalam pasar kerja sangat penting guna meningkatkan produktivitas dan menggerakkan ekonomi. Catatan tersebut telah dicontohkan oleh McKinsey, yaitu partisipasi angkatan kerja perempuan dalam perekonomian Amerika Serikat antara tahun 1970 dan 2010 naik 11 % dan membuat ekonomi negara tersebut bertambah 25 %.

Bonus Demografi
Bonus demografi tercipta karena lebih dari separuh istri pasangan usia subur bersedia melakukan program Keluarga Berencana (KB) sejak 1970-an. Kesadaran ber-KB dimulai dari pasangan tua dan yang telah mempunyai banyak anak ingin menyudahi kelahiran karena kelelahan melahirkan, kesehatan menurun, dan anaknya menjadi kurang terurus. Perilaku itu menular ke pasangan muda dan sesuai teori Ansely Cole (1973), para pasangan menyadari bahwa mempunyai anak sedikit itu menguntungkan. Orang tua dapat lebih peduli pada kualitas anak.

Perubahan pola melahirkan itu menyebabkan turunnya angka kelahiran yang berkepanjangan disertai peningkatan usia harapan hidup. Perubahan struktur umur penduduk pun terjadi. Proporsi penduduk muda di bawah 15 tahun mengecil dan proporsi penduduk usia kerja meningkat dengan cepat. Itulah sebabnya, rasio ketergantungan semakin mengecil. Beban fiskal bagi negara menjadi lebih berkurang untuk memenuhi hak-hak dasar anak yang sudah mengonsumsi tetapi belum bisa berproduksi.

Menurunnya rasio ketergantungan itulah yang menciptakan bonus demografi. Terwujudnya keadaan tersebut memicu pertumbuhan ekonomi. Namun bukan tanpa syarat. Bonus demografi dapat dipetik apabila jumlah pekerja yang makin banyak itu mempunyai pekerjaan produktif dan berpenghasilan layak. Sayangnya sampai kini, syarat-syarat untuk memetik bonus demografi sering dilupakan. Perubahan struktur umur yang berlangsung cepat itu belum diikuti dengan peningkatan kualitas modal manusianya.
Partisipasi Perempuan

Bulan Mei lalu, Guru Besar UI, Sri Moertiningsih Adioetomo, menulis di Kompas tentang peran perempuan dalam bonus demografi. Dari tulisan itu dapat disimpulkan, peran perempuan setidaknya ada dua, yaitu peran ibu dalam keluarga, tepatnya dalam pembentukan karakter anak, dan peran perempuan dalam dunia kerja. Tulisan tersebut kurang lebih sama dengan apa yang pernah ditulis Helmy Faisal Zaini (NU Online, 12 Mei 2015) tentang tiga syarat utama untuk memperoleh keberkahan bonus demografi, yakni pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja.

Terbukanya jendela peluang yang melebar menjadi 2020-2040, 10 tahun lebih panjang dari prediksi semula, rasanya cukup waktu untuk membentuk modal manusia berkualitas dan berkarakter. Pembentukan dapat dimulai dari peranan ibu dalam keluarga. Peluang untuk tersebut terbuka lebar dengan upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan modal manusia yang sehat, cerdas, produktif, berkarakter, dan berdaya saing. Peranan ibu dalam pembentukan karakter anak di dalam keluarga sangat menentukan keberhasilan anak di kemudian hari.

Peranan ibu akan sangat menentukan melalui asuhan berkualitas. Ibu memiliki peran dari mulai 1000 hari pertama kehidupan, di mana kemampuan kognitif anak terbentuk sejak janin dalam kandungan. Kemudian ibu juga akan mengawal tumbuh kembang anak sampai remaja dan siap memasuki dunia kerja serta menggantikan profil angkatan kerja saat ini yang belum menguntungkan. Data menunjukkan, sekitar 60 persen angkatan kerja Indonesia diisi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menegah Pertama (SMP) dengan kompetensi keahlian yang rendah (NU Online, 30 Oktober 2016).

Perempuan dalam bonus demografi juga dapat dilihat dari partisipasinya dalam dunia kerja. Namun, meski partisipasi perempuan Indonesia dalam pendidikan tingkat lanjut meningkat, hal itu belum sebanding dengan peluang perempuan Indonesia mendapatkan pekerjaan ataupun menempati posisi-posisi kepemimpinan dalam dunia kerja. Data BPS menyebutkan, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan hanya 55,04 persen, sementara laki-laki 83,05 persen, dengan TPAK perempuan tersebut lebih banyak terserap dari pekerja keluarga di sektor pertanian (Tempo, 5 Mei 2017).

Adapun data rilisan Mastercard Index of Women’s Advancement (MIWA) 2017, hanya sekitar 51% dari perempuan Indonesia yang berpartisipasi dalam lingkungan kerja, seperti memiliki pekerjaan tetap yang stabil, memainkan peranan dalam bidang politik, menjadi pengusaha, dan meraih posisi sebagai pimpinan perusahaan, sedangkan laki-laki mencapai 83,7%. Sebagian besar perempuan tersebut juga hanya bekerja di sektor informal yang tidak menyediakan hak khusus seperti asuransi kesehatan, rencana pensiun, maupun hak cuti berbayar (Media Indonesia, 21 April 2017).

Fenomena tersebut berarti peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam perekonomian berjalan lambat. Oleh karena itu, perempuan Indonesia saat ini masih harus berjuang karena angka partisipasi perempuan di pasar kerja masih terbilang rendah. Bila tidak, situasi itu oleh Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro disebut dapat menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pertumbuhannya karena sumber daya manusia perempuan yang jumlahnya 50 persen memiliki kualitas hidup relatif rendah dan belum berperan optimal.

Banyak sebab rendahnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Salah satunya, paradigma lama tentang pembagian kerja secara seksual, yakni laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah tangga. Tidak dimungkiri juga adanya stereotip yang mengategorikan pekerjaan berdasarkan gender. Data juga membuktikan, meski perempuan mempunyai pendidikan yang sama di pasar kerja, tetapi upah perempuan masih selalu lebih rendah dibandingkan laki-laki (Sakernas 2016).

Peran NU
Masyarakat harus turut berperan menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi perempuan, termasuk NU sebagai organisasi masyarakat. Setidaknya, ada 3 banom NU yang membidangi perempuan, yaitu Muslimat, Fatayat, dan IPPNU. Kesadaran untuk meningkatkan peran perempuan dalam bonus demografi, harus terbangun di lingkungan NU, mengingat tidak sedikit warga NU dari unsur perempuan, di samping persoalan pendidikan, kemiskinan, dan perkawinan anak di desa sedikit banyak dihadapi warga NU.

Kontribusi perempuan dalam menciptakan bonus demografi layak dihargai dengan dipenuhinya hak-hak asasinya sebagai perempuan, serta dihormati hak-hak reproduksinya. Gadis-gadis terutama di desa, harus menyelesaikan 12 tahun pendidikan dan menunda perkawinan. Lebih-lebih didorong melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka juga berhak untuk tumbuh kembang, memiliki pendidikan dan akses mencapai kesejahteraan, seperti bekerja dan beraktualisasi di masyarakat.

Rakernas Fatayat NU Mei lalu, memberikan rekomendasi agar batas usia menikah pada UU Perkawinan direvisi. Fatayat NU juga hadir di Mahkamah Konstitusi saat pengajuan penaikan batas usia pada UU Perkawinan. Namun selain didekati secara yuridis-normatif, NU melalui Muslimat, Fatayat, dan IPPNU hendaknya juga menggalakkan edukasi mengenai pencegahan perkawinan anak. Pendekatan kultural-sosiologis juga harus digencarkan secara massif, terutama melalui kegiatan-kegiatan di tingkat ranting. Seringkali, kebijakan di atas (pusat) tidak menular sampai ke bawah (ranting)

Adapun soal partisipasi dalam dunia kerja, dulu ada kontroversi, apakah perempuan bekerja keluar rumah dan menyerahkan pengasuhan anak kepada orang lain atau tinggal di rumah mendampingi anak agar tumbuh menjadi anak berkualitas. Dengan pendidikan lebih tinggi, perempuan masa kini tentu ingin mengaktualisasikan diri berpartisipasi dan berkontribusi bagi kesejahteraan bangsa, baik di dunia kerja maupun di masyarakat. Tinggal di rumah berarti hilangnya kesempatan yang dapat diperoleh andaikata bekerja.

Namun era digitalisasi memberikan peluang di mana bekerja dan pengasuhan anak menjadi kompatibel. Seiring hadirnya era digital dan maraknya e-dagang, perempuan bisa lebih berpartisipasi di dunia kerja sambil mengasuh anak di rumah menjadi anak yang sehat, cerdas dan berkualitas, berkarakter, serta berintegritas tinggi. Peningkatan partisipasi perempuan di pasar kerja tersebut akan membantu meningkatkan produktivitas yang akan memicu pertumbuhan ekonomi, di samping tetap menjalankan tugas utamanya mendidik anak.

Penulis mengamati maraknya e-dagang tersebut juga dinikmati oleh perempuan-perempuan NU, terutama kalangan IPPNU. Sudah banyak perempuan NU yang melek teknologi dan memanfaatkannya untuk berinteraksi ekonomi. Keadaan itu harus mampu dibaca oleh IPPNU untuk mengfasilitasi anggotanya, terutama guna menumbuhkembangkan kemampuan entrepreneurship. IPPNU bisa menggandeng Dinas Koperasi dan UMKM setempat untuk mengadakan pelatihan-pelatihan kewirausahaan. Sinergitas NU dengan pemerintah sangat dibutuhkan.

Menurut data BPS, rasio wirausaha Indonesia mengalami kenaikan, dari 1,67 persen pada tahun 2014, kini menjadi 3,1 persen. Artinya, target wirausaha Indonesia yang idealnya minimum 2 persen dari jumlah penduduk telah tercapai. Namun persentase tersebut masih kalah dibanding negara tetangga, seperti Singapura sebesar 7 persen dan Malaysia 6 persen. NU dengan jumlah massanya yang besar, tentu harus memberi kontribusi signifikan, terutama untuk melahirkan pengusaha-pengusaha baru dari unsur perempuan.

Pelajar NU Gresik. Aktif di Sekolah Bangun Desa SoeKa Institute Gresik

(Achmad Faiz MN Abdalla KMNU UII/fazmi)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.