Nasionalisme Kyai dan Pesantren yang Tak Tercatat Tinta Emas Sejarah

Nasionalisme Kyai dan Pesantren yang Tak Tercatat Tinta Emas Sejarah

Suka atau tidak, mau atau tidak, kemerdekaan yang sudah kita reguk selama 71 tahun ini, adalah tidak lepas dari peran pesantren. Jauh sebelum pesantren banyak terbentuk, “pesantren” masih menjelma menjadi kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam. Kita semua mungkin sudah mafhum dengan perjuangan raja-raja Islam dari mulai Demak, Cirebon, Banten, Mataram, Ternate-Tidore, dan juga Aceh, dimana Aceh adalah yang terlama melakukan perlawanan terhadap penjajah.  Aceh bahkan waktu itu menjalin komunikasi dengan Kesultanan Turki Utsmani untuk menggalang dukungan dan bantuan.

Penjajah tak kalah pintar, mereka “masuk” ke Keraton-Keraton Islam, kemudian “mempreteli” semangat juang keraton. Sehingga keraton kian melemah dan hampir padam. Kaum keraton yang semangat juangnya masih membara tidak mau menerima begitu saja. Munculah Kyai Diponegoro. Gelar “Kyai”, saya rasa lebih pantas disandangnya karena beliau sejatinya adalah orang yang benar-benar ‘alim ilmu agama. Kyai Diponegoro kemudian “uzlah” atau menyingkir dari keraton. Kyai Diponegoro menjalin komunikasi dengan pesantren-pesantren yang memiliki basis masa dan militansi yang tinggi.

Laskar Kyai Diponegoro menaungi ulama-ulama besar dan terkenal. Ulama tersebut tersebar di berbagai daerah untuk membangun pundi-pundi kekuatan  seperti, Sentot Ali Basa. Beliau mendapat  sebutan Basa, konon merujuk kepada pangkat Pasa, semacam pangkat panglima di Kesultanan Turki Utsmani). Selain beliau ada Kyai Mojo, Kyai Hasan Besari,  KH. M. Syahid (anak  Syekh Ahmad Al Mutamakkin), Kyai Umar Semarang, Kyai Abdus Salam, Kyai Abdurrauf, Kyai Mutaad, dan Syekh R. Baing Yusuf.

Berbicara Kyai Diponegoro, ada satu cerita menarik yang diriwayatkan oleh Kyai Nur Rohmat, Kyai sekaligus polisi dari Pati. Pada tahun 1829, satu tahun sebelum Kyai Diponegoro ditangkap Belanda. Saat situasi sudah begitu sulit, Kyai Diponegoro terkepung oleh Belanda, di hadapannya ada sebuah sungai sangat besar dan di belakang beliau pasukan Belanda mengejar semakin dekat. Serupa dengan kondisi saat Nabi Musa dikejar Fir’aun dan pasukannya, apakah yang terjadi?  Kyai Diponegoro mendadak mendapat ilham untuk membaca Rotib Al Haddad, kemudian kuda yang dituggangginya disuruh menyebrang sungai besar tadi. Dalam kondisi gamang, Kyai Diponegoro akhirnya nekad menyebrang sungai. Biidznillah,  kuda Kyai Diponegoro tidak tenggelam dan menapak di permukaan air seperti air sungainya adalah tanah.

Kyai Diponegoro melawan Belanda bukan karena ada jalan yang akan dibangun di area makam sesepuhnya (leluhur),  tetapi banyak faktor lain yang intinya adalah melawan penjajahan. Singkat cerita, Kyai Diponegoro yang khusnudzon pada Belanda bisa dibohongi setelah diajak gencatan senjata, beliau diasingkan ke luar Jawa. Lantas apakah perjuangan pesantren meraih kemerdekaan usai? Ternyata tidak sama sekali, para Kyai yang menjadi Laskar Kyai Diponegoro mengambil langkah cerdas dan sepakat untuk kembali ke pondok masing-masing. Para Laskar Kyai Diponegoro menggembleng para kerabat dan santrinya untuk mewarisi semangat juang mereka. Bisa dibilang para Kyai seolah mundur padahal mereka sedang membangun kekuatan besar. Mari kita bahas kyai- kyai di atas satu persatu,

  1. Kyai Hasan Besari ternyata punya dua cucu yang begitu hebat yaitu Kyai Munawir Krapyak dan HOS. Tcokroaminoto (keduanya adalah saudara sepupu). Kyai Hasan juga menjadi guru dari Kyai Abdul Manan (Kakek Syaikh Mahfudz Tirmasy yang merupakan salah satu Maha Guru dari pesantren-pesantren  di Indonesia)
  2. KH. M. Syahid adalah guru Kyai Saleh Darat. Mungkin sudah banyak yang mafhum kalau KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari adalah murid dari Kyai Saleh Darat.
  3. Kyai Abdussalam, beliau mempunyai dua cicit yang menjadi Pahlawan Nasional, yaitu KH. Hasim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah, keduanya merupakan saudara sepupu. Bahkan KH. Hasim Asy’ari mempunyai putra yang begitu besar jasanya bagi negeri kita. Putra beliau adalah yang memberi usul ke jepang untuk dibentuk Hizbullah. Hizbullah kemudian seolah-olah menjadi tentara Indonesia karena tentara yang sebenarnya waktu itu belum benar-benar terbentuk dan/atau terkoordinasi. Putra KH. Hasyim Asy’ari juga  terlibat dalam perumusan dasar negara, beliau adalah KH. Wahid Hasyim yang kemudian mempunyai putra lagi yang menjadi pemimpin negeri ini.
  4. Kyai Abdurrauf adalah kakek dari Syekh Dalhar Watucongol.
  5. Kyai Muta’ad, yang mendidik anaknya yang kemudian mempunyai anak bernama KH. Abbas. Kyai dari Cirebon ini menjadi salah satu “Panglima Besar” perang 10 November, beliau juga mendorong anaknya KH. Abdullah Abbas untuk menjadi bagian dari 500 orang yang mengikuti pelatihan Hizbullah di Bogor oleh Tentara Jepang.
  6. Syekh R. Baing Yusuf, yang mempunyai murid bernama Syekh Nawawi Al Bantani. Kita tahu bahwa salah satu ulama besar dari Indonesia ini, keilmuwannya diakui dunia seperti Syekh Mahfud At Tirmasy.

Selain ulama-ulama yang disebutkan di atas, tentu masih begitu banyak ulama yang mengerahkan segala kemampuannya dan pesantrennya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Lantas kenapa sejarah pesantren dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan tidak tercatat dengan tinta emas di Sejarah Nasional Indonesia? Wallahu a’lam, bahkan seorang panglima TNI pertama yang karirnya begitu gemilang padahal wafat pada umur 34 tidak pernah disebut latar belakangnya yang sebenarnya adalah Guru Ngaji atau Ustadz.

Namun sebagai otokritik, KH. Salahuddin Wahid mengatakan keterbatasan ini karena kalangan pesantren tidak punya ahli sejarah atau mungkin kalau saya boleh menambahkan tidak punya orang yang benar-benar “concern” dalam sejarah dan penulisannya.

Disarikan dari beberapa sumber diantaranya Api Sejarah karangan A. Mansur Suryanegara dan Laskar Ulama-Santri&Resolusi Jihad karya Zainul Milal Bizawie.

(Arief/Fela)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.