Mutiara dari Pondok Buntet

Salah satu yang menjadi rangkaian acara Ziarah Waliyullah yang diselenggarakan oleh KMNU UPI yakni mengunjungi Pondok Buntet Pesantren. Setelah sebelumnya berziarah kepada Kiai-kiai Buntet yang telah wafat, kami juga tidak melewatkan kesempatan untuk dapat sowan kepada sesepuh Pondok Buntet Pesantren agar mendapatkan siraman nasihat. Pada hari itu kami berkesempatan untuk dapat bersilaturahim dengan KH. Wawan Arwani Amin Siradj, beliau merupakan salah satu pengasuh Pondok Buntet Pesantren yakni selaku Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren.

Setelah beberapa jenak menunggu, akhirnya kami dipersilahkan memasuki ruangan utama ndalem dari Kiai Wawan. Tidak lama kemudian, Kiai menyambut kami dengan begitu ramah. Di tengah suasana yang begitu segan, Kiai mencairkan suasana dengan meminta kami untuk sedikit santai dan mencicipi hidangan yang disuguhkan. Sesaat kemudian kami hanyut mendengarkan penyampaian pandangan-pandangan Kiai. Kiai membuka dengan menyampaikan tantangan-tantangan yang dihadapkan pada mahasiswa.

“Berdasarkan penelitan yang dilakukan beberapa peneliti LIPI yang juga kolega saya, kondisi pandangan keagamaan mahasiswa saat ini didominasi organisasi kemahasiswaan yang cenderung fundamental secara praktis. Tantangan mahasiswa ke depan amatlah besar, kalangan kelompok garis keras mendominasi pemikiran mahasiswa di kampus. Secara aplikatif sederhanya begini, beberapa kalangan ada yang anti-madzhab, yang mereka terima hanyalah hadits-hadits shohih. Tetapi jika kita baca sejarah dengan cermat, perawi hadits-hadits shohih semisal Imam Bukhari dan Imam Muslim, mereka adalah generasi ke-enam setelah Rasulullah Saw, sementara imam-imam madzhab adalah generasi ke-tiga setelah Rasulullah Saw. Dan bahkan para perawi hadits merupakan murid dari imam-imam madzhab. Kita tentu harus menanamkan bahwa bermadzhab bukan berarti menafikan Al-qur’an dan Hadits, juga tidak perlu merasa tidak bebas memiliki pemikiran dan berinovasi ketika bermadzhab, madzhab tidaklah mengungkung pemikiran kita.”

Lebih lanjut, Kiai memaparkan tantangan yang saat ini dihadapkan kepada kalangan muda NU. “Kondisi empirik menunjukkan saat ini di kalangan warga nahdliyin, dimana muncul generasi yang secara sosio-kultural dan amaliyah-ubudiyah NU, tapi fiqrohnya tidak. Bagi saya, ketika kita menyebut atau merumuskan diri sebagai NU, haruslah totalitas, termasuk fiqrohnya adalah fiqroh nahdliyah, pemikiran yang musti dimiliki sebagai orang NU. Dari kondisi tersebut kita bisa membaca dua hal, pertama, keyakinan benar mereka tetaplah NU, kedua, namun mereka tidak terlalu faham dengan bagaimana pemikiran yang musti dipegang sebagai orang NU.”

Berdasarkan pemaparan beliau di atas, ini menjadi cambukan bagi kita khususnya KMNU, untuk senantiasa menggencarkan amaliyah-ubudiyah dan diselaraskan dengan penguatan fiqroh nahdliyah, mindset atau paradigma NU. Kalau bukan kita yang peduli atau merasa terpanggil, lantas siapa lagi? (Arifa)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.