Modusifikasi Agama pada Terorisme: Momok Penghalang Berakidah

“Tebar Teror Bom Tahun Baru, Pria Mengaku ISIS Diringkus Polisi”

“Pemimpin Redaksi Charlie Hebdo Tewas dalam Aksi Penembakan di Prancis ”

“Muslim Jepang Kutuk Penyanderaan oleh ISIS”

Bukan hal yang luar biasa lagi, ketika beberapa sumber berita dunia terus mengeluarkan desas desus panas yang mengancam kedamaian, apalagi kalau bukan terorisme? Dari bom yang kerap kali berderu, penyanderaan, pembunuhan, hingga yang paling populer akhir akhir ini, Islamic State of Irak and syiria (ISIS) yang berhasil mengoyak dunia dengan teror-teror kejinya.

Tak perlu menggunakan kata hipotesis dan asumsi, realitanya memang teror teror tersebut sangat meresahkan, apalagi selalu di identikkan dengan identitas yang selama ini kita pegang teguh, Islam. Para teroris selalu memegang kata jihad fi sabilillah ketika melakukan tindakan radikal tersebut. Hal itu adalah garis hitam bagi agama rahmatan lilalamin yang seharusnya menebar kasih sayang, bukan kebencian.

Tindakan terorisme tersebut, secara tidak langsung mencuci pikiran sebagian umat islam, terutama bagi para ‘muslim manut’ yang kurang mendapat pemantapan mengenahi perkenalan dari beberapa prespektif akidah dalam islam. Bagaimana tidak? Di Indonesia, sudah terlalu banyak muslim yang tidak tahu apakah aliran bahkan madzhab yang dianutnya. “Asal ikut apa kata pak ustadz dan kata mama papa, itu sudah selamat”. Mungkin hal itu pula yang mendasari proyek pembuatan KARTANU yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat islam Nahdlatul Ulama. Yakni agar dari kartu tersebut, mindset masyarakat bisa terkondisikan bahwasannya dia benar benar warga NU yang menaati hukum-hukum islam yang NU terapkan. Namun kenyataannya, pun tetap banyak masyarakat islam yang belum tahu terkait dengan prespektif islam apa yang dianutnya, yang mengakibatkan beberapa diantaranya takut melangkah dan berkata “saya takut mengikuti ajaran-ajaran yang nggak jelas, saya takut terjerumus dalam lembah hitam terorisme.” miris. Karena sebab teroris, hal yang tadinya harus ditanamkan, malah dihindari.

Hal seperti ini sangat biasa terjadi dalam dunia perkuliahan. Bekal orang tua dari rumah untuk berhati-hati tanpa memberi bekal akidah mana yang harus dianut, ditambah lagi dengan suntikan berita terorisme yang makin marak menjadikan banyak mahasiswa cenderung takut untuk lebih mengenal akidah melalui organisasi-organisasi islam kemahasiswaan, bahkan ketika organisasi tersebut bermerk Nahdlotul Ulama’ yang merupakan salah satu ormas islam terbesar di Indonesia.

Ironisnya, hal seperti ini bisa saja malah menjadi sasaran empuk bagi para pencuci otak yang sedang mencari mangsa. Ketakutan tanpa didasari oleh pengetahuan akidah untuk berlindung akan berbalik menjadi senjata tajam bagi oknum biadab yang biasa menggunakan nama islam untuk tindakan radikalnya. Bagaimana tidak? Dengan bekal membolak balik dalil dan kalimat, seorang yang takut perlahan akan luluh dan secara tidak sadar melupakan ketakutannya. Apalagi pemikiran seorang mahasiswa yang memang notabenenya merupakan pemikiran yang ingin mengkritisi segalanya. 

Sekali lagi ini adalah outcome dari terorisme yang dikolaborasikan dengan kurangnya bekal akidah. Selebihnya, Wallahua’lam Bisshowab.

Oleh: Arief Rahman Hakim (Ikatan Mahasiswa Nahdliyyin STAN)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.