MENGENAL GEMPA BUMI DAN TSUNAMI, BAGIAN IV (AKHIR): TSUNAMI, MEKANISME PENJALARAN & PARAMETER–PARAMETERNYA

Oleh: Rinaldi Oky Setiawan (Alumni KMNU ITB)

Pembahasan pada artikel “Mengenal Gempa Bumi dan Tsunami” bagian I – III lebih menjelaskan mengenai pemicu terjadinya tsunami, terutama akibat yang ditimbulkan oleh gempa bumi di dasar laut. Artikel ini akan menjelaskan tsunami secara umum, mekanisme penjalarannya,  serta parameter – parameter yang penting untuk kita pahami, kaitannya tentang istilah – istilah yang digunakan dalam mendeskripsikan seberapa besar pengaruh tsunami yang terjadi terhadap daerah pesisir yang terlanda.

Tsunami didefinisikan sebagai gelombang yang terbentuk akibat gangguan kolom air secara vertikal secara tiba – tiba dalam skala besar yang mengalami transformasi gelombang ketika menjalar mendekati pantai / pesisir. Tsunami dikategorikan sebagai gelombang panjang karena panjang gelombangnya (λ) yang lebih besar dibandingkan dengan kedalaman perairan (H), yakni kurang dari  (H/λ < 0,05). Tsunami yang terbentuk di tengah laut akan mengalami transformasi ketika menuju perairan yang lebih dangkal, termasuk pantai. Kecepatan yang tinggi pada awal pembangkitan tsunami akan berkurang ketika memasuki perairan yang lebih dangkal tetapi tinggi gelombangnya bertambah secara gradual ketika mendekati garis pantai.

Gambar 1. Penjalaran tsunami menuju pantai, yang tinggi gelombangnya naik ketika menuju perairan yang lebih dangkal.

(Sumber : IOC – UNESCO, 2016)

Tsunami umumnya dipicu oleh empat mekanisme : gempa bumi, letusan gunung berapi, longsoran, dan jatuhan benda langit. Gempa bumi menjadi mekanisme pembangkit tsunami yang paling umum dibandingkan lainnya (Latief dkk., 2000). Earthquake tsunamigenic merupakan gempa bumi yang mampu menyebabkan terjadinya tsunami yang harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut (Latief, 2007) :

  • Episenter gempa berada di laut. Gempa bumi yang terjadi di darat tidak akan mengganggu keseimbangan permukaan laut sehingga tidak akan membangkitkan tsunami.
  • Hiposenter gempa yang relatif dangkal (< 70 km) sepanjang daerah subduksi mampu membangkitkan tsunami yang mematikan.
  • Gempa yang terjadi minimal berkekuatan 6 SR.
  • Mekanisme sesar dip – slip baik thrust maupun normal, menghasilkan deformasi vertikal dasar laut beberapa meter di atas area dengan luas 100.000 km2. Besarnya gerak vertikal dan horizontal dasar laut, longsoran bawah laut, serta sedimen bawah laut akibat getaran gempa dan efisiensi energi yang ditranfer dari kerak bumi ke air yang berada di samudera merupakan bagian dari mekanisme pembangkit tsunami.
  • Biasanya terjadi di zona subduksi.

Tsunami dapat dikategorikan berdasarkan jarak sumber tsunami terhadap daerah yang terdampak (IOC – UNESCO, 2016) sebagai berikut :

  • Tsunami Lokal

Tsunami tipe ini berasal dari suatu sumber yang letaknya tidak cukup jauh dengan dampak merusak yang terbatas (radius 100 km dari sumber). Tsunami lokal biasanya timbul karena gempa bumi, meskipun dapat juga disebabkan oleh tanah longsor maupun aliran lahar vulkanik dari letusan gunung berapi di bawah / atas permukaan laut.

Contoh : Tsunami Pangandaran (2006)

  • Tsunami Regional

Tsunami regional mampu menghancurkan suatu wilayah geografis tertentu dalam radius ± 1000 km dari sumbernya. Tsunami tipe ini kadangkala berdampak sangat terbatas dan bersifat lokal pada wilayah di luarnya.

Contoh : Tsunami Laut Jepang / Laut Timur (1983)

  • Tsunami Jarak Jauh / Teletsunami

Tsunami tipe ini berasal dari sumber yang letaknya sangat jauh (> 10.000 km). Teletsunami berawal dari tsunami lokal, yang menyebabkan kehancuran dahsyat di daerah dekat sumbernya, lalu berujung pada penjalaran gelombangnya yang melintasi daerah – daerah lain yang berdekatan dengan energi yang cukup kuat sampai menimbulkan tambahan korban dan kehancuran di pantai – pantai yang letaknya lebih dari 1000 km dari sumber.

Contoh : Tsunami Hindia (Aceh, 2004)

Mekanisme Penjalaran Tsunami

Tsunami dikategorikan sebagai gelombang panjang karena memiliki kesamaan karakteristik sehingga termasuk gelombang non – dispersif, yang bermakna bahwa cepat rambat gelombang tidak dipengaruhi oleh frekuensi gelombang. Tsunami mengalami transformasi selama penjalarannya seperti pendangkalan (shoaling), refraksi, difraksi, refleksi, serta resonansi. Tsunami yang menjalar di perairan dalam memiliki tinggi gelombang yang relatif kecil sehingga penjalarannya menggunakan persamaan linier. Penjalaran tsunami menuju perairan yang lebih dangkal akan mengurangi cepat rambat gelombang dan meningkatkan tinggi gelombang. Persamaan non – linier akan diperlukan pada perairan yang sangat dangkal akibat efek gesekan dasar yang semakin besar.

Secara umum, tsunami terdiri atas serangkaian gelombang terkadang dianggap sebagai rangkaian / rentetan tsunami (tsunami wave train). Lamanya waktu antargelombang yang berurutan didefinisikan sebagai periode tsunami. Lama periode ini bervariasi, dari skala menit hingga lebih dari satu jam (Maharani, 2005). Tsunami seringkali berbentuk seperti gelombang pasang yang tak memiliki muka gelombang akibat massa air yang melimpah di batimetri pantai yang landai. Tsunami juga dapat berupa serangkaian gelombang pecah (bore), yang gelombangnya pecah jauh di lepas pantai maupun berubah bentuk menjadi gelombang pecah dengan kecuraman tinggi. Bore dapat terbentuk ketika tsunami yang bergerak dari perairan yang lebih dalam menjalar ke arah teluk yang landai dan sungai (Maharani, 2005).

Parameter Tsunami

Tinggi Tsunami

Tinggi tsunami adalah jarak vertikal yang dihitung dari puncak gelombang terhadap muka air laut rata – rata (mean sea level, MSL). Tinggi tsunami berkisar 0.5 – 2 m di perairan dalam dan meningkat secara signifikan ketika menjalar menuju perairan dangkal. Hal ini terjadi karena perbedaan kedalaman akan menghambat kecepatan tsunami dan menaikkan tinggi gelombang ketika mencapai garis pantai (Gambar 2). Tinggi tsunami akan mencapai puluhan meter terutama ketika menuju pantai dengan batimetri yang landai dan bentuk pantai seperti huruf U dan V.

Gambar 2. Tsunami yang mencapai pantai menyebabkan adanya run – up dan inundation (Sumber : IOC – UNESCO, 2016)

Run-up

Run – up (Gambar 2) adalah perbedaan antara elevasi maksimum dari penetrasi tsunami ke daratan terhadap MSL. Elevasi diperoleh dari pengukuran tinggi air pada suatu waktu yang dibandingkan dengan MSL secara umum, MLW (Mean Level Water), maupun MSL ketika terjadi tsunami. Run – up juga dapat didefinisikan sebagai tinggi tsunami yang mencapai garis pantai. Run – up yang tinggi ketika sampai di garis pantai dipengaruhi oleh bentuk pantai (U atau V) dan juga batimetri pantai yang landai. Kedua faktor tersebut menyebabkan tsunami menjadi lebih destruktif akibat berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang berada pada celah yang sempit (Diposaptono, 2006 dalam Firmansyah, 2012). Tingginya run – up di Teluk Lhoknga yakni 31,5 m (Tsunami Aceh 2004), Teluk Pancer sebesar 14 m (Tsunami Banyuwangi 1994), dan Teluk Korim sebesar 12 m (Tsunami Biak 1996) disebabkan oleh bentuk pantai yang cekung dan batimetri yang landai (Diposaptono, 2006, dalam Firmansyah 2012).

Gambar 3. Pantai dengan bentuk menyerupai gigi gergaji (sawtooth) : a) Pantai barat Sumatera dan b) Pantai selatan Jawa Timur (Sumber : Diposaptono dan Budiman, 2006, dalam Firmansyah, 2012)

Rendaman

Inundation (rendaman) didefinisikan sebagai jarak horizontal terjauh dari garis pantai hasil penetrasi tsunami yang umumnya dihitung tegak lurus terhadap garis pantai (Gambar 2). Rendaman inilah yang mampu merusak dan menghancurkan apapun yang dilaluinya ketika memasuki pesisir. Rendaman dan run – up dapat diredam dengan menggunakan breakwater maupun greenbelt (hutan mangrove) yang ditanam secara zigzag (Iska dkk., 2016).

Durasi Penjalaran Tsunami dan Perkiraan Waktu Tiba

Tsunami travel time merupakan durasi yang diperlukan oleh gelombang tsunami yang pertama kali terbangkitkan untuk menjalar dari sumbernya menuju suatu titik tertentu yang berada di garis pantai, sedangkan Estimated Tsunami Arrival (ETA) didefinisikan sebagai waktu tiba tsunami pada suatu lokasi tertentu yang diestimasi dari simulasi kecepatan dan refraksi gelombang tsunami ketika menjalar menjauhi sumber. Keduanya dipengaruhi oleh batimetri perairan (Hanks dan Kanamori, 1979) dan strike (Ibad dan Santosa, 2014).

Skala Intensitas Tsunami

Skala intensitas tsunami adalah suatu sistem penilaian yang berkaitan dengan kekuatan, energi, dan gaya pembangkitan tsunami. Salah satu skala intensitas yang digunakan dalam mengkaji bahaya tsunami adalah skala intensitas yang dikenalkan oleh Papadopoulos dan Imamura (2001), yang mengklasifikasikan intensitas tsunami dari skala sangat ringan (very light) hingga malapetaka (disastrous).

Tabel 2.1 Skala Intensitas Tsunami (Sumber : Papadopoulos dan Imamura, 2001)

Skala Indikasi Keterangan
I Not Felt
II Scarcely Felt Tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil namun tidak teramati di pantai yang pengaruhnya tidak terasa dan tidak bersifat merusak.
III Weak Tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil dan teramati oleh beberapa orang di pantai namun pengaruhnya tidak terasa dan tidak merusak.
IV Largely Observed Tsunami dirasakan oleh semua perahu kecil dan terasa oleh beberapa orang di kapal besar namun tidak terjadi kerusakan. Beberapa kapal kecil juga terbawa ke arah pantai.
V Strong (tinggi gelombang 1 m) Tsunami terasa oleh semua kapal besar dan terlihat di pantai. Beberapa orang menyelamatkan diri menuju tempat yang lebih tinggi. Perahu – perahu kecil bertubrukan dan kandas di pantai. Banjir terlihat di kebun, taman, maupun struktur di dekat pantai.
VI Slightly Damaging (2 m) Banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi. Perahu – perahu kecil banyak yang kandas dan bertabrakan. Kerusakan dan banjir terjadi di beberapa struktur kayu.
VII Damaging (4 m) Banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi. Banyak perahu kecil rusak. Beberapa kapal besar hanyut, termasuk juga obyek apapun dengan berbagai ukuran. Lapisan pasir dan akumulasi kerikil terbawa ke darat. Beberapa karamba budidaya hanyut terbawa ombak. Bangunan kayu banyak yang rusak, beberapa hancur dan tersapu. Kerusakan pada tingkat satu dan banjir pada sebagian gedung.
VIII Heavily Damaging (4 m) Semua orang menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, beberapa hanyut terbawa gelombang. Sebagian besar kapal kecil rusak dan yang lainnya hanyut tersapu gelombang. Beberapa kapal besar terdampar di dartan dan rusak. Benda berukuran besar terbawa sampai ke darat. Erosi terjadi di sepanjang pantai. Terjadi rendaman dalam skala luas. Hutan pantai mengalami kerusakan, serta sebagian keramba apung juga mengalami kerusakan. Sebagian besar bangunan kayu tersapu dan rusak. Kerusakan pada beberapa gedung tingkat dua. Sebagian beton bertulang rusak pada tingkat 1 disertai rendaman.
IX Destructive (8 m) Banyak orang tersapu gelombang. Sebagian besar perahu kecil hancur dan tersapu gelombang. Sebagian besar kapal besar kandas dan beberapa hancur. Erosi terjadi di pantai dengan skala lebih luas. Terlihat penurunan tanah secara lokal. Kehancuran pada sebagian hutan pantai dan sebagian besar keramba apung tersapu atau rusak. Kerusakan tingkat tiga pada gedung, beberapa bangunan beton bertulang rusak pada tingkat dua.
X Very Destructive (8 m – 16 m) Kepanikan massa dan sebagian besar orang tersapu gelombang. Sebagian besar kapal besar terbawa ke pantai, dan sebagiannya lagi menghantam gedung atau hancur. Bongkahan kecil dasdar laut terbawa gelombang ke darat. Mobil hanyut oleh gelombang. Terjadi tumpahan minyak dan mulai terjadi kebakaran. Penurunan muka tanah terjadi dalam skala lebih luas. Kerusakan tingkat 4 pada banyak gedung, sebagian kecil beton bertulang mengalami kerusakan pada tingkat tiga. Breakwater rusak.
XI Devastating (16 m) Kerusakan lifelines. Kebakaran meluas. Arus bali membawa mobil dan objek lainnya ke laut. Bongkahan besar dasar laut terbawa ke darat. Kerusakan tingkat lima pada gedung. Sebagian kecil beton bertulang mengalami kerusakan tingkat 4 dan sebagain mengalami kerusakan 3.
XII Completely Devastating (32 m) Semua gedung praktis hancur dan sebagian besar gedung beton bertulang mengalami kerusakan paling tidak level 3.

 

Pembahasan ini merupakan pembahasan terakhir dari artikel “Mengenal Gempa Bumi dan Tsunami”. Kedua bencana tersebut tidak dapat diprediksi kapan dan dimana akan terjadi. Penelitian yang ada baru dapat melihat keterulangan bencana (return period) berdasarkan data – data sejarah gempa bumi dan tsunami serta berusaha mensimulasikan kejadian tsunami yang pernah maupun secara hipotetik untuk melihat pengaruh tsunami yang terjadi terhadap daerah pesisir di sekitarnya. Simulasi / model tsunami yang dihasilkan berfungsi untuk mendapatkan informasi terkait upaya mitigasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi dampak tsunami yang ditimbulkan. Semoga dengan sedikit informasi ini dapat menambah wawasan kita dan semakin meningkatkan curiosity terhadap fenomena gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Indonesia.

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.