MENGARUNGI CAHAYA PUTIH SPIRITUALITAS GUS DUR

Oleh : Alis Mukhlis

[Presidium Nasional 2/KMNU UIN SUKA]

KH, Abdurrahman Wahid atau yang sudah akrab disapa Gus Dur, merupakan nama yang akan selalu dikenang oleh rakyat Indonesia. Ia terus dikenang; berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun bahkan hingga rentang waktu yang panjang. Boleh jadi Ia akan menjadi ikon dan legenda dalam sejarah Indonesia, bangsa muslim terbesar di dunia ini. Gus Dur adalah manusia yang paling dibutuhkan oleh bangsa dan negara seperti Indonesia ini, yang plural dalam banyak bidang, yang akrab dengan konflik keberagamaan dan kemanusiaan.

Spektrum sepak terjang Gus Dur sungguh luas, Gus Dur adalah sosok yang spektakuler dan membawa perubahan yang besar baik di Indonesia maupun dunia. Jejak dan warisan-warisan besarnya dapat kita lihat pada Imlek dan kaum Tionghoa yang termerdekakan, terpisahnya kepolisian dan TNI, kembalinya nama ‘Papua’ yang menandai penghormatan pada identitas warganya, lembaga-lembaga Negara seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Kementrian Kelautan, forum-forum kerukunan umat beragama dan lain sebagainya.

Kesederhanaan menjadi jalan hidupnya. Tak sekedar penampilan fisik, tetapi juga cara berpikir substantif yang terabadikan dalam kalimat “Gitu Aja Kok Repot!”. Seolah mengingatkan kita untuk selalu kembali pada pokok persoalan, sehingga segalanya menjadi ringan dan sederhana.

Pemikiran dan gagasan-gagasan Gus Dur selalu visioner kedepan, jauh melampaui zamannya. Kesannya, pemikiran dan gagasan-gagasan beliau bertentangan dengan pemikiran dan pandangan kebanyakan orang pada zamannya. Bahkan tidak sedikit yang memberi lebel ‘sesat’ kepadanya, liberal bahkan sampai label murtad (keluar dari Islam). Akan tetapi seperti yang dirasakan kebanyakan orang saat ini, seiring berkembangnya zaman ketika masyarakat menjadi lebih pintar dan cerdas, mereka sadar bahwa apa yang dibawa dan dikatakan Gus Dur dulu adalah kebenaran. Paska Gus Dur wafat, banyak dari kalangan cendikia ataupun kalangan akademis lainnya yang meneliti pemikiran dan gagasan-gagasannya karena dirasa sangat menarik dan sangat penting untuk diabadikan dan dikaji kembali.

Senada dengan apa yang dikatakan Amin Al-Khuli, Seorang pemikir Al-Qur’an dari Mesir, “Terkadang sebuah pemikiran dianggap sebagai kekafiran, diharamkan dan diperangi. Tetapi Ia kemudian seiring dengan gerak zaman, pemikiran itu menjadi Madzhab, keyakinan dominan, dan gagasan perbaikan dimana dengannya kehidupan terus melangkah kedepan”. Ya begitulah Gus Dur. Kehadirannya banyak yang mengabaikan tetapi ketika Ia telah pergi, mereka mencari-cari karena merasa perlu dan kehilangan. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

“Aduhai, betapa bahagia mereka yang berhati tulus, mereka yang ketika hadir tak dikenal (tak dimengerti), manakala pergi mereka dicari kesana kemari, mereka itulah obor-obor yang menerangi jalan lurus. Melalui mereka, tampak terang benderang segala fitnah orang-orang dzhalim”. (HR. Al-Baihaqi).

Gus Dur adalah sosok yang sederhana dan mempunyai nilai spiritualitas tinggi. Saya hendak berkontemplasi atas secuil nilai-nilai spiritalitas Gus Dur yang bisa kita teladani yang mana nilai-nilai ini juga selalu Gus Dur terapkan selama hidupnya.

  1. Ikhlas

Ikhlas adalah “Kamu telah bekerja untuk orang lain dan telah memberikan kegembiraan kepada mereka, tetapi kamu sendiri telah lupa, tak pernah ingat telah melakukannya”. (KH. Husaen Muhammad: Sang Zahid).

Abu al-Qosim al-Qusyairi dalam karyanya Al-Risalah al-Qusyairiyyah menyebutkan bahwa Dzhunun al-Mishri mengatakan: “Ada tiga tanda keikhlasan seseorang: Jika ia menganggap pujian dan celaan orang sama saja, jika ia melupakan pekerjaan baiknya kepada orang lain, dan jika ia lupa hak kerja baiknya untuk memperoleh pahala di akhirat”. Begitulah Gus Dur memaknai kata Ikhlas dan menerapkannya serta menjadikannya sebagai prinsip dalam menjalani kehidupan. Ia selalu ikhlas menolong, mengabdikan dirinya untuk sesama manusia tanpa memandang dan menanyakan keyakinan, jenis, ras, etnis, bahasa, suku dan budaya.

Dalam berbagai kesempatan Gus Dur juga sering menyampaikan salah satu bait Sya’ir Ibnu Athaillah, yakni syair ‘idfin yang berbunyi:

“Sembunyikan wujudmu pada tanah yang tak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak berbuah sempurna (Al-Hikam: 11).

Sya’ir tersebut berbicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan ambisi akan popularitas dan kemasyhuran diri. Dalam pemaknaan lain, bait sya’ir tersebut berarti perlunya ketulusan dan keikhlasan. “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, kata pepatah Jawa.

Sya’ir ‘idfin, ya pesan-pesan itulah rupanya yang juga membimbing dan menuntun Gus Dur di sepanjang hidupnya. Ia selalu membuang hasrat-hasrat kemasyhuran diri dan lebih banyak bekerja daripada bicara. Ia begitu banyak menanam di dalam hati dan pikirannya, tanpa banyak orang mengetahuinya.

  1. Taqwa

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa kepada-Ku (Al-Hujuurat, [49]: 12).

Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling bertaqwa, bukan yang paling gagah atau lemah, tampan atau jelek, bukan pula yang paling kaya atau miskin. Taqwa bukan sekedar dan hanya sering rajin ke masjid atau selalu hadir di majlis ta’lim, rajin membaca Al-Quran, berdzikir, bangun shalat malam, sedekah, atau puasa setiap hari. Tetapi lebih dari itu, taqwa adalah mengendalikan amarah, mengendalikan nafsu, hasrat-hasrat rendah, hina, selalu menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, tidak merasa paling baik, ramah, sabar, rendah hati, dan berjuta kebaikan kepada yang lain, manusia dan alam semesta. Seperti itulah Gus Dur memaknai kata taqwa dengan makna yang sangat mendalam.

  1. Zuhud

Kebanyakan orang selalu memaknai kata ini dengan membenci dunia, tidak menyukai dunia. Maksudnya tidak suka terhadap hal-hal yang berbau materi. Menurut Gus Dur, Zuhud adalah hidup sederhana, bersahaja, dan rendah hati”. baginya, makna kata ini sangat beragam. Zuhud memang bukan berarti tidak boleh punya uang, pakaian, rumah mewah, kendaraan yang bagus atau bentuk harta yang lainnya. Tetapi semua benda itu tidak boleh mengganggu hati dan pikirannya. Jika ada dia mensyukurinya, dan jika hilang dia tidak memikirkannya.

Intinya, Zuhud adalah sikap hidup bersahaja serta kemampuan diri mengelola hati dan jiwanya untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang pragmatis, yakni bernilai sesaat, rendah dan mementingkan kepentingan pribadi. Gus Dur selalu sederhana dan bersahaja, dalam hidupnya ia lebih mementingkan kepentingan umum, kemaslahatan umat daripada kepentingan pribadi semata.

Demikianlah secuil diantara sekian banyak nilai-nilai spiritualitas Gus Dur yang menjadi prinsip dan pegangan selama hidupnya. Sungguh layak kita kita tiru, teladani dan kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari untuk menjadi manusia yang ‘memanusiakan manusia’, yang selalu meletakkan mashlahat umum diatas hasrat diri. Wallahu a’alam!.

Leave A Reply

Your email address will not be published.