Membedah Pluralisme Gus Dur: “Obat” untuk Merangkul Indonesia Menjadi Makmur dalam Menghadapi Kemajuan Zaman

Oleh : Yahya Rafi Sya’bani – KMNU UPI

Gus Dur atau dengan nama lengkap KH. Abdurrahman Wahid merupakan sosok ulama kharismatik Indonesia sekaligus tokoh nasional kelahiran Jombang 1940. Beliau merupakan cucu dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdhatul Ulama serta anak dari KH. Wahid Hasyim seorang petinggi Masyuni dan Nahdhatul Ulama sekaligus Mentri Agama RI. Gus Dur berhasil membawa nama Nahdhatul Ulama hingga tingkat internasional dan menjadi organisasi masyarkat yang disegani di dunia.

Gus Dur juga dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia. Selama hidupnya getol sekali memperjuangkan nilai kebhinekaan, hak asasi manusia, dan kesataraan hak warga negara. Sehingga pengikut serta pendukung beliau ada di mana-mana serta dari kalangan mana saja. Makhfud MD seorang teman dekat beliau selama berkuliah di luar negeri menjelaskan bahwa pemikiran pluralisme beliau muncul ketika berkuliah di luar negeri. Pada saat itu sekitar tahun1970-an gus dur sedang membaca di perpustakan Maroko. Beliau menangis terisak-isak saat membaca sebuah buku filsafat Aristoteles yang berjudul Etika Nikomakean. Buku itu berisi filsafat tingkat tinggi tentang manusia, masyarakat, serta negara yang ternyata dasar-dasarnya terdapat di Al-Qur’an. Buku tersebut menjelaskan asal-usul manusia, pemberdayaan manusia, hingga kode etik dalam menjalani kehidupan.

Menurut Gus Dur pluralisme merupakan sebuah sudut pandang seseorang dalam menghargai serta mengakui keragaman identitas seperti ras, agama, suku, buadaya, dan lain-lain. Pluralisme bukan merupakan suatu ide menyamakan semua agama yang selama ini sering dipahami, karena setiap agama mempunyai suatu perbedaan serta keunikannya sendiri. Gus Dur mengibaratkan pluralisme sebuah rumah besar yang mempunyai beberapa kamar dan setiap orang mempunyai kamarnya masing-masing. Di dalam kamar, setiap orang merawatnya dengan baik serta berhak melakukan apapun di kamar tersebut. Akan tetapi ketika sedang berkumpul di ruang keluarga maka semuanya wajib melebur bersama. Semua orang

di dalamnya bekerjasama untuk merawat, menjaga, dan juga melindungi rumah tersebut. apabila kita samkan konsep tersebut dalam kehidupan bernegara maka kamar merupakan keragaman dan rumah merupakan negara. Sehingga dapat disimpulkan setiap warga negara wajib ikut serta dalam merawat, melindungi, serta menjaga keamanan serta kenyamanan negara dari berbagai ancaman. Rumah atau negara yang telah kita bangun bersama dengan fondasi Pancasila dan keragaman identitas primodial harus dirawat serta dijaga dengan baik.

Penulis menggap sosok Gus Dur merupakan pejuang pluralisme yang sangat gigih dan juga pemberani. Pada saat itu paham radikalisme sedang menjamur di Indonesia. Banyak terjadi kasus pelarangan pendirian rumah ibadah dan persekusi pada kaum minoritas. Hal tersebut dikarenakan paham dan ideologi keagamaan yang masih bersifat transnasional sehingga menekankan pada purifikasi dan pembacaan yang rigid terhadap kitab suci. Ditambah pada saat itu banyak dari umat islam yang merasa alergi dengan perbedaan. Bahkan Majelis Ulama Indonesia sendiri mengeluarkan fatwa mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme karena dianggap suatu yang asing dan bid’ah dalam islam. Ditengah kecamukan tersebut, Gus Dur hadir membantah dan memperjuangkan kebhinekaan dengan paham pluralismenya. Gus Dur menganggap pluralisme merupakan sunnatullah dan keragamana merupakan desain yang Tuhan berikan kepada manusia agar saling mengenal, saling belajar, saling memahami, saling melengkapi, serta saling menyempurnakan satu sama lain. Beliau menggunakan landasan QS. Al-Hujuraat ayat13. Selain menggunakan Al-Qur’an sebagi landasan dalam menyebarkan paham pluralisme, beliau juga menggunakan Pancasila sebagai landasan filosofis.

Nilai perjuangan serta pluralisme Gus Dur harus terus di terapakan di Indonesia khususnya oleh kaum muda. Dalam hal ini sejalan mengingat Indonesia merupakan negara yang heterogen dengan berbagai macam perbedaanya. Perbedaan bukan menjadi suatu penghalang tetapi jadikan sebagai kekuatan serta nilai tambah di dunia sebagai negara yang besar dan kaya. Dengan adanya toleransi terhadap perbedaan membuat hidup bernegara menjadi nyaman serta tentram tanpa

adanya suatu permusuhan. Ibarat sebuah pelangi yang indah dengan keragaman warnanya. Jika toleransi terhadap perbadaan ini tidak diterapkan maka akan terjadi permusuhan dan perpecahan. Indonesia merupakan negara yang heterogen pasti akan mudah hancur apabila nilai pluralisme ini tidak diterapkan oleh masyarakat luas. Antar desa, antar agama, antar suku ataupun yang lainnya akan terjadi sebuah pertikaian.

Nilai pluralisme yang diajarkan Gus Dur sangat mendalam. Prinsip pluralisme yang diajarkan Gus Dur tidak memandang bulu. Tidak terikat orang penting atau bukan, kaya atau miskin, semuanya beliau rangkul. Hal ini harus terus diterapkan dalam kehidupan bernegara ini. Ditambah mengingat minimnya kesadaran komunitarianisme dan menigkatnya egosentris yang tinggi di masyarakat luas. Hal tersebut terjadi seiringnya perkembangan zaman. Alih-akih mendekatkan yang jauh melainkan menjauhkan yang dekat. Menurut Dedy Mulyani salah satu ketua komisi DPR-RI menjelaskan hal itu dikarenakan kesadaran masayarakat Indonesia yang “belum siap” dalam modernisasi sehingga alih-alih mendatangkan manfaat melainkan madhorot. Hal ini dibuktikan dari tingkat kesadaran religiusitas dan moralitas pada pedesaan lebih baik ketimbang di perkotaan. Salah satu buktinya tingkat kasus kriminalitas yang dilakukan oleh kaum muda.

Oleh karenanya, sudah seharusnya kita bersatu bersama merangkul kebhinakaan demi  terciptannya Indonesia yang makmur, aman, senotosa. Sila kedua pancasila menyebutkan “persatuan Indonesia” dan semboyan negara kita “Bhineka Tunggal Ika”, maka sudah saatnya kita bersatu tingkatkan sikap komunitarianisme dan sampingkan egosentris kita lalu kita sikapi dengan bijak perkembangan zaman ini. Zaman akan erus berkembang seiring dengan waktu, maka jangan jadikan perkembangan/modernisasi sebagai madhoarot. Lihatlah aksi Gus Dur yang getol dalam menegakan kebhinekaan. Penulis sangat reaspect kepada sikap beliau yang kalem, santun, arif dan bijaksana. Beliau mempunyai slogan yang menjadi ikonik nya dalam berdakwah yakni “gitu aja kok repot”. Kata tersebut sangat sederhana namun mempunyai makna yang cukup mendalam. Kata tersebut mampu menampar kembali pihak-pihak yang tidak suka terhadapnya dan mengatasi problematika negara.

Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid merupakan tokoh nasional sekaligus ulama kharismatik yang memperjuangkan pluralisme perbedaan di saat Indonesia sedang berkecamuk radikalisme serta pemaham pluralisme yang menyimpang. Perjuangan beliau tersebut menjadikan dirinya dianggap sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Bukan hanya di Indonesia ketenaran beliau juga hingga ke luar negeri di bidang yang sama.

Pluralisme ini perlu kita terapkan dalam kehidupan bernegara sehari-hari mengingat bangsa ini terdiri dari berbagai perbedaan. Selain itu kemajuan zaman dengan ditandai kecanggihan teknologi membuat sikap komunitarian mengikis sehingga alih-alih mendatangkan manfaat melainkan madhorot. Hal tersebut juga menjadi urgensi dari diperlunya sikap pluralisme toleransi antar sesama.

Penulis berpesan agar generasi muda penerus bangsa dapat mencontoh Gus Dur yang moderat dalam beragama. Kegigihan perjuangan beliau bagi Indonesia dan Nahdhatul Ulama patut untuk dicontoh. Selanjutnya penulis berharap tulisan ini mampu memotivasi generasi muda dalam memajukan bangsa dan menjadikan tulisan ini sebagai rujukan bagi karya lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *