Memahami Logika-Logika Puasa

Sebuah upaya memahami esensi puasa dan korelasinya dengan kemajuan peradaban

Kalau ditanya, ibadah apa yang paling unik di dalam Islam? Saya akan menjawab, ibadah puasa di bulan Ramadan. Banyak alasan yang membuat saya berkesimpulan demikian, di antaranya, pertama, puasa adalah manahan diri dari tidak makan, minum, dan berhubungan badan, padahal ketiganya ini merupakan kebutuhan primer manusia. Kenapa di dalam puasa malah dilarang? Ini unik. Kedua, dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan bahwa, “Setiap amal kebaikan anak Adam adalah miliknya sendiri, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.”  Ini aneh dan unik, kenapa puasa bisa demikian? Ketiga, di saat orang berpuasa, tentu kondisinya secara fisik lebih lemah dibandingkan mereka yang tidak berpuasa, karena dalam kondisi lemah semestinya mereka dianjurkan untuk tidak memperbanyak kegiatan, tapi faktanya? Islam justru menganjurkan untuk memperbanyak ibadah, salat, tilawah, zikir, i’tikaf, sedekah, membantu sesama, bekerja, dan meningkatkan produktifitas. Padahal bahan bakar fisik mereka dinihilkan dengan puasa. Kenapa bisa begitu?

Pertanyaan-pertanyaan di atas membuktikan keunikan yang terdapat di dalam puasa. Tentu pertanyaan tersebut perlu dicarikan jawaban agar kita bisa memahami alur logika yang ada di dalam puasa. Baiklah, ayok kita bahas satu persatu.

Pertama, apa sebenarnya esensi dari menahan tidak makan-minum dan berhubungan intim di saat melaksanakan puasa Ramadan? Al-Ghazali dalam Ihyâ Ulûmuddîn Bab Rahasia Puasa menjelaskan, sejatinya manusia memiliki dua sisi sifat yang kontradiktif. Yaitu sifat kehewanan dan kemalaikatan. Namun manusia bukan hewan, karena manusia memiliki akal. Bukan pula malaikat, karena manusia memiliki syahwat. Kedua kecendrungan ini terus menerus bersaing untuk mengungguli yang lain. Ketika dalam diri manusia yang lebih menonjol sifat kehewanannya, maka derajatnya terdegradasi ke level nyaris seperti hewan dan terus menjauh dari sisi kemalaikatannya. Sebaliknya, jika yang menonjol sisi kemalaikatannya, maka derajatnya naik menukik nyaris ke level malaikat dan terus menjauh dari sisi kehewanannya.

Upaya tidak makan-minum dan berhubungan badan yang menjadi bagian dari prosesi puasa adalah dalam upaya pengendalian diri. Yaitu pengendalian agar sisi kehewanan yang ada dalam diri manusia semakin melemah sekaligus agar sisi kemalaikatan semakin menguat.

Bukahkah kita tahu, bahwa kecendrungan utama hewan adalah keinginan terus menerus terhadap makan, minum, dan bereproduksi. Nah, jika manusia kecendrungannya hanya soal perut dan di bawah perut saja, lantas apa bedanya dengan hewan? Kita juga tahu, kalau malaikat tidak pernah makan, minum, berhubungan intim, dan bermaksiat kepada Allah. Jika ada manusia yang bisa menahan diri dari ketiga hal itu, maka manusia sudah hampir sampai pada derajat malaikat.

Jika sisi kehewanan manusia melemah dan sisi kemalaikatannya menguat maka potensi untuk menjadi orang yang baik semakin besar. Potensi taat dan tidak maksiat kepada Allah juga semakin kuat. Sebagaimana malaikat yang kerjaannya hanya terus beribadah kepada-Nya, tidak ada kerjaan lain. Sebaliknya, jika sisi kehewanannya yang menguat, maka potensi menjadi orang jahat semakin menguat pula. Potensi menindas yang lemah, membunuh, menyakiti, dan merusak akan terus meningkat sebagaimana yang terjadi pada hewan. Karena itu, orang yang demikian ini di dalam tata pergaulan kita dikenal dengan istilah “Tidak berkeprimanusiaan” dalam arti sebaliknya dia adalah manusia yang “berkeprihewanan”.

Di sisi lain, makan-minum merupakan kebutuhan pokok yang menjadi sumber kehidupan manusia. Namun, saat puasa hal itu tidak boleh dilakukan. Di sini terdapat pelajaran penting. Bahwa jika kita bisa menahan diri untuk tidak mengkonsumsi sesuatu yang menjadi sumber pokok kehidupan kita, maka mestinya kita juga bisa menahan diri dari segenap perbuatan tercela dan maksiatan, sebab keburukan dan kemaksiatan bukanlah sumber kehidupan bagi kita.

Apakah kita akan mati jika tidak makan dan tidak minum? Jawabannya ya, karena Allah menjadikan makanan dan minuman sebagai sumber kehidupan kita. Lalu apakah kita akan mati jika kita tidak melakukan dosa-dosa dan kemaksiatan? Jawabannya tidak, karena itu bukan makanan pokok bagi kita. Kehidupan kita akan aman-aman saja tanpa kemaksiatan.

Nah, jika kita bisa menahan diri dari sesuatu yang menjadi sumber kehidupan bagi kita (makanan dan minuman), lalu alasan apa yang membuat kita untuk tidak tahan meninggalkan sesuatu yang buka sumber kehidupan kita dan bahkan sama sekali tidak kita butuhkan (kemaksiatan)? Tidak ada. Tidak ada alasan sama sekali. Inilah salah satu hal penting yang bisa kita pelajari dari puasa Ramadan.

Kedua, kenapa puasa sangat istimewa sehingga saking istimewanya hanya Allah yang tahu dan hanya Allah yang akan membalas besar pahalanya? Dalam Islam, hampir semua amalan taat bisa kita saksikan secara zahir melalui kedua mata. Seperti salat, zakat, haji, dan yang lain. Kecuali puasa. Tidak ada orang yang bisa menyaksikan apakah dia sedang berpuasa atau tidak, kecuali Allah. Sebab puasa sejatinya adalah ibadah batin. Karena demikian inilah, maka ibadah puasa yang kita kerjakan adalah milik Allah dan hanya Allah yang akan membalas besaran pahalanya.

Dalam kesempatan lain Nabi pernah menyebutkan bahwa, “Puasa adalah ibadah yang tidak bisa dimasuki riya’” Syaikh Muhammad Hasan al-Masysyat dalam karyanya Isâfu Ahlil Islâm bi Wadhâif Syahri  Ramadan, memberikan penjelasan alasan puasa tidak bisa dimasuki riya, yaitu semua amal ibadah tidak akan terjadi tanpa ada gerakan fisik yang bisa disaksikan, sedangkan puasa tidak akan terjadi tanpa ada niat dalam hati yang pelaksanaanya tidak dapat disaksikan manusia. Misalkan terjebak pada riya’ bukan disebabkan “dzat puasanya” tapi disebabkan faktor eksternal, seperti mempublikasikan dan mengabarkan kepada orang-orang bahwa ia sedang berpuasa.

Dengan alasan seperti yang dijelaskan di atas inilah yang menyebabkan puasa menjadi ibadah spesial yang saking spesialnya memiliki pahala agung yang tidak tahu pada kadarnya selain Allah.

Ketiga, selama berpuasa, kita membiarkan tubuh tak kemasukan asupan gizi yang diperlukan, sehingga dengan energi yang sangat minim, mestinya kita tak diminta berbuat banyak di bulan Ramadan ini. Namun sayangnya puasa Ramadan tidak mengajarkan yang demikian. Justru di bulan suci ini, kita diminta untuk meningkatkan amal berlipat-lipat, meningkatkan mujahadah berlipat-lipat.

Maka selama Ramadan, umat Islam meningkatkan salat, zikir, tilawah, itikaf, sedekah, membantu sesama, bekerja, dan meningkatkan produktifitas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Padahal bahan bakar fisik mereka dinihilkan dengan puasa. Mengapa? Karena kendati secara fisik energi kita dinihilkan, namun karena proses itu telah mematikan virus yang mengekang potensi jiwa, maka begitu virus itu mati, potensi jiwa bangkit menjadi ledakan energi yang luar biasa hebat.

Itulah sebabnya kenapa banyak peristiwa hebat yang dialami umat Islam terjadi justru ketika mereka sedang berpuasa, seperti kemenangan besar dalam Perang Badar al-Kubra dan Fathu Makkah.

Namun jauh sebelum peristiwa-peristiwa hebat itu, ingatlah pertempuran besar antara Goliath (Jalut) si raksasa melawan Raja Thalut dan Nabi Dawud AS.

Pasukan Raja Thalut menang bukan karena mereka lebih banyak. Jumlah mereka justru sangat sedikit, namun mereka yang sedikit itu berhasil mematikan virus yang mengekang potensi jiwa (iman) mereka, dengan cara tidak memberikan asupan gizi pada fisik mereka (tidak minum saat singgah di tepi sungai). Konon, dari 80.000 pasukan yang menyertai Raja Thalut, yang tidak minum hanya 4.000 pasukan saja, dan 4.000 pasukan itulah yang berhasil menghancurkan tentara Jalut yang luar biasa besar dan hebat itu. (Lihat tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 249).

Di dalam bagian lain, kita bisa mengambil pelajaran dari cerita Al-Quran mengenai Nabi Musa AS ketika akan menerima Taurat. “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (untuk memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam…” (QS. Al-A‘raf [7]: 142).

Para mufassir mengatakan, bahwa untuk mempersiapkan diri sebelum menerima kitab Taurat, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk menunggu selama 30 malam, dan dalam masa penantian itu beliau diperintahkan melakukan puasa.

Jadi Allah menjadikan puasa selama tiga puluh hari untuk Nabi Musa sebagai perantara guna berkomunikasi dengan-Nya dan menerima Kitab-Nya. Maka dari sini kita bisa memahami apa sebetulnya tujuan akhir dan sasaran terhebat dalam puasa Ramadan kita, dan kenapa selama berpuasa kita diperintahkan untuk banyak-banyak bermunajat kepada Allah dan membaca seraya mentadaburi Kalam-Nya yang suci.

Selain memiliki esensi-esensi yang berbeda dibanding ibadah lain, sebetulnya puasa Ramadan juga bertujuan membentuk akhlak mulia bagi setiap Muslim. Dalam sebuah hadis Nabi bersabda, “Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Dan apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencelanya, maka katakanlah ‘aku sedang puasa’”. (HR. Al-Bukhari)

Sebenarnya bukan hanya puasa saja. Setiap ibadah itu salah satu tujuannya juga untuk membentuk akhlak yang luhur. Simaklah bagaimana Allah menjelaskan tentang ibadah haji: “Barangsiapa yang berkewajiban haji, maka janganlah ia berkata jorok, berbuat mungkar dan bertengkar dalam ibadah hajinya.” (QS. Al-Baqarah: 197). Bahkan salat lima waktu yang kita tunaikan setiap hari juga bertujuan membentuk akhlak mulia: “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Jadi jika kita menunaikan ibadah puasa Ramadan dan ibadah-ibadah lain namun akhlak kita belum juga baik, maka pasti ada masalah dengan ibadah kita.

Demikian sedikit sumbangan pemikiran saya mengenai upaya memahami logika-logika dan esensi puasa. Semoga dengan memahami logika puasa ini, puasa yang kita kerjakan bisa berdampak secara power full terhadap peningkatan kulitas hidup, baik yang berkaitan dengan nila-nilai kemanusiaan atau yang berhubungan dengan nilai-nilai religiusitas kita sebagai muslim. Tidak berlalu begitu saja mengikuti siklus tahunan tanpa ada efek yang berarti. Jujur, masih banyak yang ingin saya sampaikan mengenai hal ini, tapi tidak bisa karena terkendala dengan ketentuan space yang terbatas. Meski sedikit, semoga bermanfaat. (Zain Rusdy, KMNU UII/Eff)

Referensi dan inspirasi tulisan

  1. Ihyâ Ulûmuddîn, Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Bab Rahasia Puasa. Penerbit Maktabah Attaufiqiyah, Kairo Mesir. Cet ke VI.
  2. Isâfu Ahlil Islâm bi Wadâif Syahri Ramadân, Syaih Hasan Muhammad Al-Masysyat. Penerbit Daar Ibn Hazm, Damaskus. Cet ke IV.
You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.