Masjid Menara Kudus: Simbol Toleransi Islam Masa Kerajaan Majapahit

Oleh: Muhammad Fernanda Raihan Fadlika
IMAN PKN STAN

Penyebaran agama Islam di tanah Jawa pada masa lampau tidak dapat terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh atau ulama, raja, bangsawan, dan para adipati. Di pulau ini, peran mubaliqh yang tergabung dalam walisongo menyampaikan dakwah dan risalah islam melalui metode dan cara yang berbeda. Salah satu diantaranya yang kita kenal adalah Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan atau biasa kita sebut dengan Sunan Kudus.

Sunan Kudus merupakan salah satu dari sembilan wali yang biasa disebut walisongo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Beliau merupakan putra dari pasangan Sunan Ngudung (Panglima Perang di Kasultanan Demak) dan Syarifah Ruhil (adik Sunan Bonang).

Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga sehingga cara berdakwahnya pun mirip dengan pendekatan Sunan Kalijaga yaitu dengan toleran terhadap budaya lokal bahkan kono katanya cara penyampaian Sunan Kudus lebih halus sehingga dia dapat berdakwah dengan lebih mudah.

Selain kepada Sunan Kalijaga, Sunan Kudus juga belajar kepada ayahnya yaitu Sunan Ngudung, kepada Kyai Telingsing (Ulama dari China yang datang bersama Laksamana Cheng Ho). Sunan Kudus juga merguru kepada Sunan Ampel.

Sunan Kudus berdakwah di area Kabupaten Kudus dan Sekitarnya. Kabupaten Kudus merupakan sebuah daerah kecil yang terletak di pesisi utara pulau Jawa. Pada saat itu mayoritas agama yang dipeluk oleh masyarakat Kudus adalah Hindu dan Budha, dan juga ada yang sudah Islam karena sebelum Sunan Kudus berdakwah disana, Kyai Telingsing terlebih dahulu menyebarkan Islam di kabupaten di mana ada dua walisongo yang dimakamkan disana.

Zaman dahulu, mayoritas masyarakat memeluk agama Hindu dan Budha. Tidak mudah dalam memperkenalkan dan mengajari agama Islam, namun tidak bagi Sunan Kudus, beliau menggunakan metode syiar atau pendekatan budaya sehingga dengan mudah diterima masyarakat. Salah satu metode syiar yang digunakan oleh Sunan Kudus adalah melarang menyembelih hewan sapi. Selain itu, Sunan Kudus bersama santri-santrinya membangun sebuah masjid yang bercorak Hindu-Budha yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus.

Menara Kudus dilihat dari Tenggara

Masjid Menara Kudus saat ini terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Masjid ini dibangun oleh Sunan Kudus bersama para santrinya yang konon katanya salah satu bahan yang digunakan untuk membangun masjid adalah batu yang dibawa Sunan Kudus dari Al Quds atau Palestina. Maka dari itu penamaan Masjid ini adalah Masjid Al Aqsa Manarat Qudus.

Menara yang ada di masjid ini memiliki tinggi 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma.
Arsitektur bangunan menara yang mirip dengan selasar candi umat hindu, berasal dari tumpukan bata merah yang besar dan lebar dengan teknik pemasangan kosod, yaitu pemasangannya hanya dengan digosok-gosokkan tanpa perekat lainnya.

Bangunan puncaknya terdiri dari dua tumpuk atap tajuk dan ditopang dengan empat soko guru. Di puncaknya terdapat bedug yang biasanya ditabuh pada hari besar Islam, seperti sebagai penanda awal bulan Ramandhan. Sehingga masyarakat Kudus sampai sekarang masih menyemarakkan tradisi tersebut sebagai Dhandangan yang baru saja berakhir kemarin.

Bentuk bangunan yang menyerupai candi tersebut konon, merupakan strategi Sunan Kudus untuk berdakwah menyebarkan agama Islam di lingkungan yang masih kolot beragama Hindu. Agar Islam bisa diterima dengan baik, Sunan Kudus mengadopsi beberapa kebudayaan dan kebiasaan masyarakat sekitar. Seperti Sunan Kudus melarang penyembelihan sapi bagi masyarakat Kudus, yang masih berlaku hingga saat ini, dan menggantikannya dengan penyembelihan hewan kerbau. Sehingga masyarakat Kudus sampai sekarang sudah terbiasa mengkonsumsi daging kerbau, kalau pun ada yang menjual daging sapi biasanya didatangkan dari luar kota Kudus.

Tempat Wudhu 8 Titik dengan Arca Kebo Gumarang
Tempat Wudhu 8 Titik, Toleransi Islam-Budha

Selain ada menara di Masjid Menara Kudus, ada simbol toleransi lainnya yaitu tempat wudhunya. Di dalam tempat wudhu ini terdapat 8 pancuran yang diatasnya ada arca Kebo Gumarang. Hal itu disesuaikan dengan kepercayaan penganut agama Budha “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga”. Usaha itu pun juga berhasil karena pada saat itu menurut cerita banyak pemeluk agama Budha penasaran kenapa Sunan Kudus memasang lambing wasiat Budha sehingga mereka berbondong-bondong pergi ke masjid dan Sunan Kudus mulai menerangkannya.

Tempat Wudhu Dengan Arca Kebo Gumarang
Tempat Wudhu Dengan Arca Kebo Gumarang
Di tempat wudhunya juga ada sebuah kolam yang merupakan sebuah peninggalan kuno yang saat ini bisa digunakan untuk berwudhu. Dan di luar area wudhu (luar area masjid) ada dua gapura paduraksa atau masyarakat Kudus lebih sering menyebutnya sebagai lawang kembar.

Di sekitar kawasan Masjid Menara Kudus ada sebuah klenteng bernama Hok Liong Bio yang merupakan klenteng tertua di daerah situ. Klenteng ini berjarak sekitar 50 meter dari masjid menara kudus dan menurut referensi yang ada, bangunan klenteng dibangun lebih dahulu sebelum Masjid Al Aqsa berdiri alias klenteng ini lebih tua usianya dari Masjid Menara Kudus. Hal ini menambah kesan toleransi yang dibuat oleh Sunan Kudus yang membangun Masjid Menara Kudus tak jauh dari rumah peribadatan agama lain

 Pintu Masuk Menuju Makam Sunan Kudus
Pintu Masuk Peziarah Menuju Makam Kanjeng Sunan Kudus
Sunan Kudus meninggal pada tahun 957 Hijriyah atau 1550 Masehi pada saat menjadi imam sholat subuh di Masjid Menara Kudus dalam keadaan sujud. Beliau dimakamkan di area Masjid Menara Kudus dan hingga sampai saat ini banyak peziarah dari dalam kota maupun luar kota berbondong bonding mengunjungi untuk berziarah dan mendoakan Sunan Kudus.

Cara menyampaikan syiar islam di masyarakat Kudus tidak akan pernah dilupakan oleh waktu. Metode seperti ini menjadikan beliau sangat mudah diterima oleh masyarakat Kudus saat itu. Peninggalan-peninggalan beliau akan menjadi saksi bisu bahwa ada orang yang sangat bijaksana pada masa lampau.

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.