Kuncup Bunga Harapan (Chapter 2)

“Tunggu”.

Tiba-tiba ada lengan yang menahannya untuk tidak pergi lebih jauh lagi. Agus pun berbalik arah dan dia dapati Adam tengah menatapnya dengan pandangan mencegah. Dia pun menunduk tanda tidak menerima pencegahan apapun, lantas meminta pendapat Adam, mengapa bisa dia mencegahnya untuk menemui Bagas?

“Tunggu, jangan sekarang Gus. Aku tahu ini tidak baik, namun aku merasa akan jadi amat buruk bila kita langsung memarahinya di tempat. Kita tunggu mereka sampai selesai, setelah itu kita peringatkan Bagas secara baik-baik. Takutnya bila kita kesana sekarang, dia malah akan membenci kita lalu boyong dari pondok. Bukankah kita sama-sama tahu meski dia orang yang baik namun masih butuh lebih banyak belajar ilmu agama di pondok, benar kan? Dan lagi, dia adalah sahabat kita, dalam lubuk hatiku aku tidak ingin kehilangan dia, pun tidak ingin dia terjerumus ke dalam jurang cinta-cintaan. Karena itulah, aku merasa menasehatinya di lain waktu adalah pilihan yang paling tepat”.

Mendengar penuturannya, Agus menghela nafas, dia merasa ada benarnya juga apa yang dikatakan Adam. Dia pun mengangguk tanda setuju. Mereka berdua duduk di sana menunggu Bagas selesai dengan urusannya Bersama gadis itu.

“Apakah benar yang kamu maksudkan kemarin? Bahwa gadis inilah yang bernama Andini?” Tanya Agus.

“Aku tidak bisa memastikan, akan tetapi sepertinya begitu Gus, dia Andini”.

“Sepertinya aku tidak mengenalnya, dari prodi apa dia?”

“Kurang tahu juga sih Gus, aku tahu si Andini ini juga sebatas gosip dari teman kelas”.

Sontak Agus pun kaget mendengarnya.

“Jadi hubungan Bagas sudah menjadi pergosipan di dalam kelas?” Adam mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan si Agus tadi.

“Namun tidak semua orang tahu, contohnya ya kamu ini. Hanya ada satu-dua orang saja yang mengetahuinya, sebab belum ada bukti kalau mereka pacaran. Aku tahu pun baru kemarin, dari si Dewi, yang memberi tahu padaku ketika dia meminjam jawaban tugasku”.

Agus kembali menghela nafasnya, bingung hendak berkata apa. Bagi dia, untuk sekarang ini sepertinya pilihan terbaik adalah menunggu Bagas, tepat seperti yang dikatakan Adam tadi.

Mereka berdua menunggu hampir setengah jam lamanya. Mereka melihat gerak gerik bagas dengan lamat. Mereka melihat dia berdiri bersamaan dengan gadis tadi, sedikit membungkukkan badan, berterima kasih, lalu dia dan gadis tadi sama-sama pergi meninggalkan taman. Agus dan Adam kembali membuntutinya dari belakang. Setelah dirasa aman, mereka berdua langsung mengambil tempat di depan wajahnya. Sontak Bagas pun kaget mendapati sahabatnya tiba-tiba ada di depannya sekejap mata.

“Ada apa sih kalian, bikin kaget saja”.

Agus berbicara terlebih dahulu mewakili Adam sebab dia juga yang amat getol mendapati Bagas bermesraan dengan seorang gadis tadi.

“Tidak ada apa-apa Gas, kami hanya ingin bertanya beberapa hal”. Ucap Agus dengan intonasi yang ditekan pada kalimat ‘bertanya beberapa hal’.

Karena atmosfer terasa cukup panas, Adam pun mencoba untuk kembali menengahi.

“Hei, ada baiknya kita makan bareng dulu. Cari tempat duduk yang pas dan ngobrol seperti biasa. Yuk!”

“Ada apa sih serius amat! Ada apa Gus?”

“Aku sudah bilang kan, tidak ada apa-apa!”

“Ha?”

Melihat kondisi yang semakin memanas Adam pun mencoba melerai dengan menggeret tangan mereka berdua menuju bangku terdekat.

“Aku tahu kalian berdua pastilah belum makan, ini aku beli 2 bungkus nasi. Untuk Agus satu, untuk Bagas satu. Ya, makan dulu ya”.

Dia menawarkan makan meski dia sendiri sebetulnya belum makan siang. Demi mencairkan suasana.

“Tidak Dam, aku tadi sudah makan, nitip bungkus sama temen”.

“Andini maksudmu?”

Bagas dan Adam diam terkejut mendengar pertanyaan Agus. Karena bingung menengahi, Adam memutuskan untuk diam, menunggu jawaban dari Bagas.

“Andini? Dari mana kamu tahu kalau aku punya teman bernama Andini?” Tanya Bagas dengan canggung dan sedikit gugup. Dia pun menoleh ke arah lain, tak berani menatap langsung ke arah Agus.

“Aku tahu kok, aku tahu semuanya. Tahu kalau tadi kamu-“.

Belum selesai Agus dengan kalimatnya, Adam segera memotongnya. “Tadi kamu makan siang bersamanya meninggalkan kita berdua, hehe. Waaah, kamu benar-benar deh. Ninggalin sahabat demi cewek.”

Agus menatap Adam tidak suka, dibalas tatapan tidak suka balik dari Adam. Meskipun mereka berdua saling diam namun mata mereka menyiratkan perasaan satu sama lain. Agus menundukkan kepala tanda minta maaf, lalu memilih untuk diam saja, menyerahkan urusannya kepada Adam.

“Iya maaf, kan tadi aku juga sudah izin, besok deh aku makan siang bareng sama kalian lagi, seperti biasa hehe”. Jawab Bagas. Agus yang mendengar jawaban dari Bagas merasa tidak tahan lagi, dia hendak langsung berujar namun sepertinya Adam mencoba untuk menghalang-halangi. Karena tak tahan dia pun pergi dari sana meninggalkan Adam dan Bagas.

“Haaah”. Adam menghela nafas.

“Hmm? Agus mau kemana Dam?”. Tanya Bagas polos.

“Mungkin dia kebelet, Gas”.

“Ooh”.

Sejenak ada jeda hening antara mereka.

“Dam, maaf, aku tadi sudah makan siang, itu kamu kasih ke Agus saja ya, aku tahu dia pasti belum makan. Dan lagi, kamu pastinya juga belum makan deh, makan aja sama Agus ya”.

Adam tersenyum mendengarnya, dia tahu kalau Agus dan Bagas adalah sahabatnya yang berharga, orang-orang baik yang saling pengertian satu sama lain.

“Hehehe, iya nih. Oke, nanti bakal aku kasihkan ke dia Gas. Kalem aja”.

Setelah kembali hening untuk beberapa saat, Adam pun melanjutkan pertanyaannya kembali.

“Gas, aku ingin kamu jujur, sebenarnya, siapa itu Andini?”

Dia merasa kalau dia mau bicara dari hati ke hati, besar kemungkinannya Bagas mau untuk bicara jujur, ketimbang bila harus memakai cara pemaksaan dan tudingan. “Hmm, jujur ya, sebenarnya kami hanya teman, teman dekat. Tapi aku merasa ada yang lebih dari itu, lebih dari teman biasa. Namun aku tidak bisa mengatakannya sebagai pacar sebab kami memang tidak pacaran”.

“Benar hanya teman dekat?”

“Iya, hanya teman dekat”.

“Bagaimana pendapatmu kalau aku dan Agus barusan melihatmu bersamanya makan siang bersama di taman sembari satu-dua kali suap-suapan?”

Sontak wajah Bagas memerah layaknya buah tomat segar.

“Eh, ehmm.. anu, mengenai itu, kami hanya terbawa suasana tadi Dam. Baru pertama kali kami suapan juga, jadi ya begitu. Kalau kamu benar-benar lihat, pasti kamu paham, sebab betapa deg-degannya aku tadi jadi sikapku amat kaku dan canggung”.

Adam membenarkan perkataan sahabatnya.

“Tapi Gas, coba ditilik kembali. Bukankah hal itu adalah hal yang salah, hal yang tidak baik dilakukan dua anak manusia yang berbeda jenis kelamin? Bukankah kamu sudah tahu kalau ada yang berdua-duaan sedang mereka berlawan jenis maka yang ketiga adalah setan? Bagaimana kalau tadi setan menghasut kamu sampai berbuat yang lebih jauh? Pegangan tangan misalnya atau yang lebih buruk lagi.”

“Naudzu billahi min dzalik”.

“nahh, makanya”.

“Tapi jujur Dam, aku sama sekali tidak ada pikiran berbuat seperti itu, astaghfirullahaladzim”. “Iya, tapi setan punya berbagai cara untuk menipu daya umat manusia lho, ingat”.

“Iya sih. Hmm, iya deh aku minta maaf aku khilaf”.

“Kenapa minta maaf padaku? Harusnya kamu berjanji pada dirimu sendiri untuk tidak berbuat hal demikian lagi”.

“Iya deh iya aku janji”.

“Hehehe sipp”.

Bagas pun mengajak Adam untuk pergi ke masjid guna shalat jamaah disana. Namun Adam menyuruhnya pergi terlebih dahulu, sebab dia masih harus menyerahkan nasi bungkus ini kepada Agus. Bagas pun mengiyakan. Bersegeralah Bagas pergi menuju masjid serta Adam yang menelpon Agus, dia bertanya kepada Agus dimana dirinya sekarang. Ternyata dia sudah ada di masjid duluan, iktikaf menenangkan diri. Dirinya pun segera ke sana, takutnya masih ada atmosfer amarah antara kedua sahabatnya. Dengan berlari, dia sampai di masjid lebih dulu dari Bagas. Dia meminta Agus untuk memakan nasinya di luar masjid saja, dan Agus pun menyetujuinya. Selesai makan siang dan shalat jamaah, mereka pun kembali ke kelas sebab masih ada satu mata kuliah yang harus mereka hadiri hari ini.

Ketika bertemu di masjid, di kelas, bahkan ketika perjalanan pulang, Bagas dan Agus lebih banyak diam tidak saling ngobrol seperti biasanya. Meski dari sikap mereka tidak mencerminkan amarah, namun ada sisi canggung antara keduanya. Sampai larut malam pun, karena tidak ada banyak obrolan maka Bagas memilih untuk tidur lebih dulu. Agus yang melihat Bagas sudah lebih dulu tidur segera menanyakan kepada Adam, hasil diskusi antara dia dan Bagas tadi.

“Mereka hanya teman dekat Gus, kalem. Dia juga sudah janji tidak akan mengulangi perbuatan tadi, dan akan lebih menjaga diri”.

“Hufft, Alhamdulillah kalau begitu”.

“Sudah, jangan dibuat pusing. Kita tidur dulu saja mengingat sudah larut malam”. “Benar apa katamu Dam, okey aku mau sikat gigi dulu sekalian ambil wudlu”.

Seluruh santri berkumpul di Aula pondok. Hari ini, telah ditetapkan, keputusan sudah final. Dan lurah pondok pun mengumumkannya kepada seluruh santri, supaya semua orang tahu bahwa peraturan tetaplah harus ditaati, takzir harus diberikan.

“Karena kang Bagas sudah terbukti menjalin hubungan yakni pacaran, dengan seorang gadis alias saudari yang bernama Andini. Maka sesuai peraturan yang berlaku, dengan ini, kami, selaku pengurus, telah sepakat untuk mengeluarkan kang Bagas dari pondok pesantren”.

Bagas menatap dengan mata melotot, wajah tertegun. Tak menyangka hal ini akan terjadi.

Bersambung…..

Disusun oleh: Muhammad Toyyib (KMNU UNISSULA)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.