Kuncup Bunga Harapan (Chapter 1)

Pagi ini, angin berhembus sepoi menerbangkan beberapa dedaunan yang mulai mengering. Sinar mentari cerah dan menghangatkan. Menimbulkan rasa nyaman dan tenang dalam satu waktu. Namun keadaan menyenangkan di pagi ini tetap tak dapat menenangkan pemuda satu ini. Matanya menyorotkan kesedihan, sikapnya menunjukkan kegelisahan, sepagi ini dia hanya menatap kosong ke arah lautan, berimajinasi dan memikirkan masa lalunya. Seolah dia memiliki dunia sendiri di dalam pikirannya. Setelah puas dengan isi kepalanya, dia berdiri. Lalu jongkok untuk mengambil batu. Menarik tubuh ke belakang, lalu sekuat tenaga melempar batu itu ke arah lautan. Setelah batu itu jatuh dia berteriak sekencang mungkin.

“Mengapa hidupku begini tuhan!”.

Dia mengatakannya dengan keras dan lantang, dan setelah berucap demikian nafasnya pun menderu, dia menumpahkan segala kesedihannya ke dalam tangisan, dia tak mampu berkata-kata. Menangis dan bertanya, mengapa? Itulah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan saat ini. Kemudian dia teringat dengan kejadian 1 tahun yang lalu.

“Gas, kenapa kamu belum mengumpulkan tugas Bu Idha kemarin? Kan sudah aku bagikan format tugasnya ke kamu? Kita sama-sama tahu kalau deadline-nya sampai dengan pukul 24.00 WIB kemarin, Kenapa kamu tidak ngumpulin? Atau kamu belum mengerjakan?”

“Iya, aku lagi males nih Gus, aku memang tidak mengerjakan tugasnya. Ini lagi ada banyak tugas di organisasi”

Mereka adalah dua sahabat, yakni Bagas dan Agus. 2 Mahasiswa aktif semester 3 prodi Tarbiyah di kampus swasta di Semarang. Mereka akan saling berbagi baik pengalaman, tugas, maupun keperluan masing-masing. Disaat ada masalah mereka pun saling terbuka untuk mencari solusi bersama.

Yahh, padahal itu tugas yang penting lho Gas. Kan kita sama-sama tahu kalau Bu Idha sangat mementingkan nilai tugas entah itu baik atau tidak tugasnya yang penting mengerjakan”.

“Iya aku tahu, mau bagaimana lagi, sudah terlewat kok, aku ikhlasin sajalah”

Ikhlasin gimana, lha wong kamu yang salah kok ikhlasin, ikhlasin. Dasar Bagas, Bakul-Gas”. Begitulah ejek Agus kepada sahabatnya.

Mereka satu kamar di pondok pesantren khusus mahasiswa yang dekat dengan kampus mereka. Setelah mengingatkan tugas yang terlewat kemarin, Agus kembali fokus kepada tugasnya yang lain, dia berkutat dengan laptopnya, sembari memakai kacamata minusnya. Bagas memakai handuk dan segera pergi mandi. Sementara mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, kang pondok yang lain tengah sibuk menghafal nadhom Alfiyah yang nanti malam akan disetorkan ketika jadwal ngaji. Berbeda dengan Agus yang sudah mengkhatamkan hafalan Alfiyah-nya sewaktu di Madrasah Aliyah dulu, karena dia adalah putra seorang Kyai yang mengasuh pondok pesantren di Madrasah Aliyah tersebut. Ini bertolak belakang dengan Bagas yang sewaktu Madrasah Aliyah tidak mondok dan dia baru pertama kali mondok di usianya yang masuk kuliah ini. Jadi secara keilmuan agama, dia masih harus banyak-banyak belajar. Namun karena sistem pondok yang menyama ratakan semua santrinya, jadi mau tidak mau Bagas harus bisa beradaptasi dengan sistem yang ada. Mulai dari sistem pembelajaran, sistem hafalan, sistem pergaulan, kedisiplinan, dan lain-lain.

“Bagas masih mandi, Gus?”

“Iya Dam, dia baru saja ke kamar mandi. Oh iya Dam, kamu kan satu organisasi sama Bagas, memangnya organisasi kalian sedang acara apa ya? Kok dia bilang sedang sibuk organisasi?”.

Dia adalah Adam, teman sekamar Bagas dan Agus yang kebetulan satu prodi dan satu organisasi dengan Bagas.

“Halah itu sih alesan dia saja, paling dia lagi curi-curi kesempatan untuk bisa pergi dengan doi dia, si Andini”.

Agus terkejut mendengarnya, sebab Bagas tidak pernah cerita apapun kepadanya tentang perempuan, apalagi kedekatan dia dengan seorang perempuan yang bernaman Andini.

Serius nih Dam?Perasaan Bagas tidak dekat siapa-siapa”.

“itu sih karena kamu yang terlalu polos Gus hehe. Maaf bukan maksud ngejek”.

“Mungkin aku yang kurang jeli melihat kondisi di sekitarku. Okelah makasih Dam.”

“Aku mau ke warungnya Bu Sri beli nasi rames, kamu mau sekalian nitip?”

“Wah kebetulan, makasih ya, ini uangnya”. Adam pun bergegas pergi ke warung Bu Sri Karena tugas Agus sudah selesai dia pun mengemasi laptopnya dan segera mandi mengingat hari sudah semakin sore.

Malam harinya Bagas dihukum lagi karena belum menghafal satu bait nadhom pun padahal yang lain sudah menyetor banyak nadhom hafalan mereka. Ada yang 20, ada yang 15, ada yang 30 dan paling minimal 10 bait. Parahnya Bagas Nampak meremehkan hukumannya. Agus yang memperhatikan gerak-gerik Bagas nampak tidak suka dengan kelakuan sahabatnya ini. Di keesokan harinya, selesai sholat subuh berjamaah seluruh santri berkumpul di aula untuk membaca wirid Ratibul Haddad yang telah dijadwalkan tiap harinya. Selesai membaca wirid, seluruh santri pun mengambil kitab Riyadush Shalihin untuk ngaji secara bandongan Bersama Abah Kyai. Sampai jam 7, para santri pun bubar barisan menuju ke kamar masing-masing, ada yang tidur, ada yang langsung mandi mengingat jadwal kuliah mereka yang berbeda-beda. Bagas, Agus, dan Adam langsung mandi sebab jadwal kuliah mereka jam 8. Mereka berjalan bersama menuju warung makan, lalu ke kampus menaiki angkot umum. Sebab di pondok mereka dilarang mengendarai motor. Kendati demikian, santri tetap diperbolehkan membawa barang-barang elektronik seperti HP dan laptop, dengan rincian ketika jadwal ngaji maka barang-barang elektronik tersebut wajib dikumpulkan.

“Gus, Dam, aku ngantuk. Semalam hukumannya disuruh berdiri selama jadwal ngaji, setelah jam ngaji selesai masih disuruh membaca Al-Qur’an 1 juz, baru selesai jam 12”.

“Salah siapa suruh main cinta-cintaan sama cewek”.

“Yahh kamu Dam kayak nggak pernah muda saja”.

Agus hanya diam memperhatikan dua sahabatnya itu, sembari bilang dalam hati bahwa dia harus menelusuri masalah Bagas lebih jauh. Dia tidak mau sahabatnya terjerumus ke dalam jurang percintaan yang belum waktunya dan takut gelora masa mudanya membawanya ke arus sesat, kearah zina, naudzu billah.

Sesampainya mereka di kampus, seperti biasa mereka mengambil tempat duduk paling depan, mengingat teman-teman yang lain juga masih sedikit yang sampai di kelas. Jadi masih leluasa mengambil tempat duduk.

Namun sepertinya pagi ini keberuntungan tidak menghampiri Bagas, sebab di jadwal mata kuliah yang kedua, Bu Idha memanggil mahasiswanya untuk maju mempresentasikan tugas yang kemarin sudah dikumpulkan. Karena beliau tahu kalau Bagas tidak mengumpulkan tugas, maka dia pun disuruh maju ke depan kelas, dan diomeli cukup lama oleh Bu Idha. Terakhir, dia disuruh mengumpulkan karya ilmiah selambat-lambatnya 4 hari lagi. Dia duduk ke tempatnya disebelah Adam dengan muka lesu dan kesal. Meskipun Adam dan Agus kasihan, namun biarkan ini menjadi pelajaran untuknya supaya mau untuk bertanggung jawab terhadap tugas yang dimilikinya, walau sesibuk apapun kondisinya, tugas adalah kewajiban yang harus diselesaikan.

Saat masuk jam istirahat, Adam dan Agus mengajak Bagas ke kantin, namun dia menolaknya dengan alasan hendak makan siang bareng temannya. Mereka berdua pun memakluminya dan membiarkan dia pergi sendirian. Namun Agus yang merasa curiga dengan glagat Bagas yang aneh tadi, dia pun meminta Adam untuk membungkuskan saja nasi ayam geprek untuknya. Selanjutnya dia mengikuti Bagas diam-diam dari belakang. Dia melihat Bagas menuju ke taman kampus yang celingak-celinguk nampak menunggu seseorang. Dan tak selang lama datanglah seorang gadis membawa satu kantong hitam berisi bekal makan. Agus pun bertanya-tanya dalam benaknya. “Apakah dia cewek yang kemarin dimaksud Adam yang bernama Andini?”. Dan betapa terkejut Agus melihat sahabatnya tengah duduk berdua di kursi taman dengan satu-dua kali saling suapan. Meski mereka tidak saling bersentuhan secara fisik, apalagi berpegang tangan. Namun bagi Agus hal ini tentu sangat keterlaluan. Dia menggertakan giginya, dan dengan hati panas, darah mendidih dia hendak keluar dari persembunyiannya menuju ke tempat duduk Bagas.

Bersambung…..

Disusun oleh: Muhammad Toyyib (KMNU UNISSULA)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.