Kisah Seorang Ustadz di IPB

Oleh Alkatsumi 2

Saya ingin bercerita tentang seorang ustadz yang telah menghabiskan hampir seluruh waktunya ketika sebagai civitas Institut Pertanian Bogor untuk mengabdi pada Nahdlatul Ulama melalui KMNU. Iya, singkatan dari Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama. Sembari dari awal dideklarasikan, KMNU lebih memfokuskan diri untuk mewadahi teman-teman yang kurang terfasilitasi kebiasaannya di kampus. Kebiasaan desa yang guyup rukun, akrab, penuh canda tawa meskipun punya tanggungan berjuta-juta, masih dapat dirasakan di kampus rakyat ini terlebih KMNU.

Situasi akademik yang individual, saling bersaing untuk menjadi yang terbaik, terkadang mencapai ambang batas titik jenuh. Asupan spiritual sebagai penyeimbang kebutuhan jiwa raga dari perdesaan cukup sukar ditemukan di kampus tercinta ini kecuali KMNU. Perasaan itulah yang menyelimuti ustadz ini ketika pertama kali datang untuk menimba ilmu di kampus ini.

Entah bagaimana awalnya saya bertemu dengan beliau dalam suatu majelis. Majelis rutin yang dinamakan kajian kitab kuning setiap jum’at setelah maghrib di salah satu sudut Node ARL serta Sholawat Ad Diba’i di Musholla Dramaga Regency. Lama-kelamaan aku mengenal beliau dari kegiatan-kegiatan KMNU. Kegiatan seperti penyambutan angkatan baru (Open House), Upgrading, hingga ikut partisipasi dalam kepanitian peringatan Haul Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Saya coba gambarkan beliau secara runtut dari tahun pertama hingga tahun akhir masa studi.

Tahun pertama, beliau belajar bagaimana KMNU berproses. Proses menemukan keluarga yang memiliki kecenderungan latar belakang yang sama hingga terbentuk KMNU. Beliau belajar butuh perjuangan ekstra dalam mencari keluarga terbaik dan memberi kontribusi yang terbaik. Sangat sulit menyatukan pemikiran yang berbeda-beda hingga akhirnya terbentuklah KMNU. Proses sejak sebelum dideklarasikan pada 26 Mei 2007 hingga menjadi besar seperti sekarang ini memerlukan waktu, pikiran, tenaga bahkan tidak sedikit harta yang disumbangsihkan bagi kemaslahatan KMNU. Jadi beliau merasa, sebesar apapun pengorbanan, sebanyak apapun ikhlasan, dan semua yang telah dikerjakan, tidak akan pernah melampaui perjuangan para pahlawan, pendiri, sekaligus penggerak KMNU.

Berlanjut ke tahun kedua, beliau diamanahi sebagai staf divisi eksternal. Beliau turut serta dalam berbagai silaturahmi Pembina, Pondok Pesantren maupun dengan pihak-pihak lain. Dari sini beliau menyimpulkan bahwa mungkin inilah salah satu sebabnya mengapa KMNU bisa seperti sekarang ini. Tanpa hal tersebut mustahil bagi KMNU untuk dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh komponen masyarakat. Di sisi lain, beliau juga berpartisipasi dalam pengabdian masyarakat di sekitar sekretariat KMNU. Pengabdian yang bernama “Nahdlatul Athfal” merupakan salah satu pengejawantahan dari visi misi KMNU. Berawal dari niat tulus berbakti pada negeri melalui pendidikan, KMNU belajar untuk bermanfaat bagi umat. Anak-anak yang dulunya suka bermain kesana kemari mencari alamat palsu, saat ini sudah memiliki kesibukan untuk belajar dengan cara yang lebih menyenangkan. Anak-anak tidak hanya belajar akademik tapi juga spiritual. Pembekalan spiritual salah duanya dengan membiasakan anak untuk rajin sholat dhuha dan praktek doa harian. Selain itu, anak-anak juga diajari akhlak terutama untuk berbakti kepada orang tua serta mendoakan selalu mereka. Jadi beliau belajar, bahwa KMNU ini bukan organisasi yang hanya bergonta ganti pengurus tiap tahunnya, tapi juga memiliki asas kekeluargaan ikatan dalam KMNU maupun dalam masyarakat yang terus berlanjut seperti Nahdlatul Ulama.

Tahun ketiga, beliau dipercaya sebagai kadiv eksternal. Namun, saya sangat  mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya tidak mampu menggambarkan mobilitas beliau. Saya melihat seolah-olah hidup dan matinya beliau dicurahkan untuk KMNU. Saya mengutip dan sedikit menyunting mutiara kata dari Alissa Wahid, putri Gus Dur bahwasanya “beliau tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat di sekitarnya”. Saya dengar beliau juga melakukan pengabdian di Pondok Pesantren Mina ’90, Bogor.

Tahun akhir studi, beliau dipercaya sebagai Dewan Pertimbangan KMNU. Meskipun beliau melakukan penelitiannya di Kabupaten Pati, beliau tetap memikirkan bagaimana KMNU ini setahun atau sepuluh tahun mendatang. Sumbangsih beliau yang begitu besar juga mengantarkan beliau sebagai pengurus regional maupun pengurus pusat KMNU. Seabrek kesibukan beliau tidak menurunkan semangat untuk berprestasi terutama dalam bidang akademik. KMNU pasti merasa bangga memiliki kader seperti beliau yang berpredikat cum laude dalam menyelesaikan studi selama empat tahun. Tentu hal ini dapat menjadi motivasi sekaligus tidak ada alasan bagi adek-adek yang tetap ingin berkontribusi aktif untuk KMNU serta tetap memiliki akademik yang progesif.

Beliau yang sekarang masih sama persis ketika saya pertama kali bertemu. Meskipun beliau sudah ustadz (guru) bagi saya, beliau tetap rendah hati namun penuh canda tawa. Sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena ulasan ini hanya 0,01% dari biografi beliau.

SAYA SANGAT MEREKOMENDASIKAN BELIAU BAGI ORANG TUA YANG INGIN MEMILIKI MANTU IDAMAN

beliau itu bernama Muhammad Kholilurrahman, SE

(Ahmad Fauzi Ridwan / Arin Fatma)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.