KHITTAH DAN KHIDMAH NAHDLATUL ULAMA (Kumpulan Tulisan Majma’ Buhuts An-nahdliyah)

Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dari konsep li utammima makaarimal akhlak dan tafaqquh fiddiin. Konsep ini yang menjadikan NU sebagai ruh pendidikan pesantren selama berabad-abad. Khittah secara bahasa ‘lepas’, yaitu melepaskan daripada kepentingan-kepentingan dan kembali kepada sejarah NU dan pesantren yang dapat menjawab tantangan zaman dengan munculnya para Kiai dan tokoh-tokoh yang luar biasa. Hal ini karena muassis dan tokoh-tokohnya terdidik, terlatih menjadi kader santri yang Kholison Muhlison Liwajhillah. Sekarang apakah pesantren dan NU masih bertujuan menjadikan masyarakat Tafaqqahu Fiddiin? Masihkah para kader NU menjaga dan menjadi contoh akhlakul karimah? Para Kiai sesepuh NU dalam mengajarkan ilmu kepada santri dan masyarakat tidak menggunakan kurikulum atau sarana prasarana yang memadai, tetapi kekuatan dalam memegang prinsip, mempertahankan tujuan atas berdirinya pesantren dan NU sangat kuat, dan hal ini yang membuat NU dan pesantren tetap menjaga ke-eksistensiannya sebagai garda terdepan Indonesia.

1. Syirkatul ‘Inan Murabathoh Nahdlatut Tujar (KH. Wahab Chasbullah)

Dijadikan haram bagi orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan akan sah dan tidaknya apa yang menyerupai jual beli al-ja’alah (memberikan syarat atas barang atau sesuatu yang hilang dengan ganti sesuatu yang tertentu) dan syarikah (persekutuan dagang). Segala puji bagi Allah yang telah mencukupi segala nikmat dan rahmat-Nya yang dalam hadits Qudsiy : “Aku (Allah) beserta dua orang yang melakukan syarikat, selama salah satu di antara keduanya tidak berkhianat terhadap yang lain. Jika demikian maka Aku akan keluar.” Maksudnya bahwa Allah akan bersama dengan dua orang yang bersyarikat menjaga dan melindungi harta benda mereka.

Kemerosotan dan kebobrokan bangsa Indonesia di dalam kepeduliannya terhadap syariat Islam, dan sekolah-sekolah Belanda yang penuh sesak yang mereka tidak menghargai umat beragama sama sekali, di tangan mereka hanya ada kemegahan, kecendikiawanan dan kekuasaan. Hal tersebut disebabkan oleh:

Pertama, mereka melakukan tajarrud (sikap mengisolir dan membebaskan diri dari mencari nafkah), akibatnya mereka harus merendah-rendahkan diri minta bantuan orang kaya yang bodoh atau pengusaha yang durhaka. Kedua, yaitu ketidakpedulian mereka terhadap tetangga yang  belum tahu rukun shalat, bahkan belum bisa melafalkan syahadat. Kebodohan mereka termasuk jahil murakkab (bodoh dan tidak mau belajar). Para pemimpin merampas hak mereka dengan zalim sedangkan yang alim dalam urusan agama tidak mempunyai aktivitas apa-apa. Mereka kaum alim tersebut  mencari-cari alasan takut timbulnya fitnah.

Ketiga, yaitu mereka merasa tidak memerlukan ilmu orang lain dan merasa cukup dengan ilmu yang telah dipelajari dan dipahami, sehingga dirasa tidak perlu adanya musyawarah atau suatu jam’iyyah yang khusus untuk para ulama guna membahas hal-hal yang dapat menunjang kokohnya agama.

Mbah Wahab Chasbullah mengajak para pemuda putra bangsa untuk mendirikan badan usaha ekonomi yang beroperasi dan di setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom. Badan usaha ini khusus untuk kaum Ulama dan kaum terpelajar. Tujuannya adalah untuk bermusyawarah dan bertujuan menampakkan syariat Nabi Muhammad saw agar jumlah penuntut ilmu semakin bertambah, meghidupkan perserikatan, mencari jalan untuk menghidupi para pendidik (guru) baik yang di kota maupun di desa, untuk me-nyetop laju kemaksiatan yang terang-terangan. Kemudian atas dasar penelitian yang cermat dan pemikiran yang panjang dan disertai dalil-dalil, KH Hasyim Asy’ari dari Tebuireng mendirikan sebuah badan usaha yang diberi nama Badan Usaha Al ‘Inan, dan bendaharanya yaitu KH Abdul Wahab, sedangkan pemegang buku daftar dan berkas-berkas dokumen yaitu H. Bashri dan Syekh Mansur. Semua anggota setuju bahwa badan usaha ini bergerak dalam bidang pertanian, bukan dalam bidang perdagangan karena dinilai sulit dan belum terbiasa. Dokumen pendirian badan usaha ini ditandatangani pada akhir Rajab tahun 1336 H.

2. Mukaddimah Qanun Asasiy Jam’iyyah Nahdlatil Ulama (KH. Hasyim Asy’ari)

Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan. Bahkan pangkal kehancuran dan kebangkrutan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, serta penyebab kehinaan dan kenistaan. Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit ihwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa saja yang terjadi pada mereka hingga pada saat kepunahannya akan mengetahui bahwa kejayaan yang pernah menggelimangi mereka tidak lain adalah berkat apa yang secara kokoh mereka pegang. Musuh-musuh mereka tidak dapat berbuat apa-apa, menundukkan kepala dan menghormati mereka karena wibawa mereka.

KH Hasyim Asy’ari berpesan bahwa kita yang sedang dan telah menimba ilmu di kalangan Ahlussunnah Waljamaah pada 4 madzhab, orang-orang sebelum kita menimba ilmu dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalinan sanad yang bersambung sampai kepada kita, dan kita selalu meneliti dari siapa kita menimba ilmu agama. Maka kita adalah para penjaga dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Janganlah memasuki rumah-rumah kecuali dari pintu-pintunya. Barangsiapa memasukinya tidak melalui pintu-pintunya, maka disebut pencuri.

Sementara yang lain ada segolongan orang yang terjun ke dalam lautan fitnah, memilih bid’ah dan bukan sunnah Rasulullah saw, sementara kebanyakan orang mukmin yang benar hanya akan terpaku. Maka para ahli bid’ah dan pencuri itu merajalela. Mereka seenaknya memutar balikkan kebenaran, memungkarkan makruf dan memakrufkan kemungkaran. Mereka mengajak kepada kitab Allah, padahal sedikitpun mereka tidak bertolak dari sana.

Mereka tidak berhenti sampai disitu, mereka mendirikan organisasi (perkumpulan) bagi kegiatan mereka tersebut. Maka kesesatan pun semakin jauh. Orang-orang yang malang beramai-ramai memasuki perkumpulan itu. Mereka tidak mendengar sabda Rasulullah saw :

“Fandzuruu amman ta’khudzuuna diinakum…” (HR Imam Ahmad dan Imam Al Hamim- Shahih).

“….maka lihat dan telitilah dari siapa kamu menerima ajaran agamamu ini. Sesungguhnya menjelang hari kiamat, muncul banyak pendusta. Janganlah kamu menangisi agama ini bila berada di tangan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada di tangan yang bukan ahlinya.”

Anda (kita) sekalian adalah orang-orang yang lurus yang dapat menghilangkan kepalsuan ahli kebathilan, penafsiran orang-orang bodoh, dan penyelewangan orang-orang yang melewati batas, dengan hujjah Allah yang diwujudkan melalui lisan orang yang Dia kehendaki. Mbah Hasyim Asy’ari mengajak kepada kitas semua, golongan para fakir miskin, para hartawan, orang-orang yang lemah dan kuat untuk berbondong-bondong masuk dalam Jam’iyyah yang diberkahi ini yaitu Jam’iyyah Nahdlatil ‘Ulama.

Dalilnya adalah:“Jam’iyyah ini adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak, lalu kemana lagi kamu akan pergi ? Kemana ? Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang yang pertama, kalau tidak orang-orang yang menyusul masuk Jam’iyyah ini. Jangan sampai ketinggalan, nanti suara pengecam akan menyerumu dengan kecaman-kecaman: “Mereka (orang-orang munafik itu) puas bahwa mereka ada bersama orang-orang yang ketinggalan tidak masuk ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati mereka telah dikunci mati.” (QS. 9:87).

Tiada yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.

3. Hadits Berkenaan dengan Pendirian Nahdlatul Ulama ( KH. Hasyim Asy’ari)

“Janganlah kamu merendahkan masalah kebajikan barang sedikitpun, meski hanya dengan memperlihatkan wajah berseri-seri ketika kamu bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim).

“Tidak bergeser dari umatku dari kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang yang lebih tua. (Hadith ini dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al Khilyah).

Sesungguhnya Allah berfirman : “Barangsiapa memusuhi atau menyakiti atau menjatuhkan atau memojokkan wali-Ku (kekasih-Ku) maka Aku mengumumkan perang, benar-benar halal permusuhan-Ku.” (HR. Bukhori).

4. Menyongsong Tahun Proklamasi yang Kedelapan (KH. Wahid Hasyim)

Kalau tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari Indonesia.– (E.Douwes Dekker).

Setelah tujuh tahun Indonesia merdeka, apakah kita bertambah maju atau bertambah mundur? Kata pihak yang pesimistik : Kita bertambah mundur, politik kita sudah tidak memiliki kepentingan umum lagi, tetapi berdasarkan kepentingan-kepentingan, ekonomi kita sekarang lebih diejek daripada di zaman feodal, kebudayaan kita telah di barat-baratkan, ukuran akhlak kita sebagai bangsa sudah kehilangan bentuk dan pedoman.

Kata pihak optimistik : Memang walaupun banyak kemunduran-kemunduran, tetapi ini adalah akibat yang sewajarnya dari kepaayahan jiwa selama lima tahun bergejolak, ukuran-ukuran dunia sekarang telah banyak berubah, jadi kalau tidak turut berubah sebenarnya tidak mengkhawatirkan.

Dalam memandang persoalan besar dan mengatur negara, orang terlampau mendasarkan penglihatannya pada rasio atau otak semata, padahal yang lebih penting lagi yaitu kedudukan common sense ( perasaan halus atau kebijaksanaan). Misalnya untuk menjadi ahli hukum, belajar dari SD hingga menginjak fakultas Hukum, harus meggunakan otak terus menerus, akan tetapi untuk menjadikan seorang hakim, yang pekerjaannya terutama membandingkan antara hukum-hukum tertulis dalam buku pidana, orang tidak lagi menggunakan otaknya semata-mata, tetapi dia harus menggunakan common sense.

5. Wawancara Imajiner dengan Hadratussyeikh (KH. A. Mustofa Bisri)

Dari apa yang saya dengar tentang Hadratussyeikh dan rekaman-rekaman buah pikiran beliau yang berhasil saya kumpulkan sampai saat ini, saya memperoleh gambaran yang demikian jelas mengenai Bapak NU ini dan ketika saya baru-baru ini dihadiahi copy kitab susunan Sayyid Muhammad Asad Syihab (cetakan Beirut) berrjudul “Al-Allamah Muhamad Hasyim Asy’ari Waadli’u Labinati Istiqlaali Indonesia.” (Maha Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia), dan dua copy khutbah Hadtarusyyeikh, kangen saya pun menjadi-jadi.

Tiba-tiba sudah berada dalam suatu majelis yang luar biasa. Suatu halaqoh besar yang menebarkan wibawa dan mendebarkan. Mereka yang duduk berhalaqoh dengan anggun di sekeliling saya tampak bagaikan sekelompok gunung yang memberikan rasa teduh dan damai. Begitu banyak wajah ratusan atau bahkan ribuan memancarkan cahaya, menyinari majelis. Ada yang sudah saya kenal secara langsung atau melalui foto atau melalui cerita. Ada yang hanya kenal namanya, dan masih banyak lagi yang namaya pun tak saya ketahui.

Itu tentu Kiai Abdul Wahab Hasbullah ! Wajahnya yang kecil masih tetap berseri-seri menyembunyikan kekuatan yang tak terhingga. Duduk di sampingnya, Kiai Bishri Syamsuri, Kiai Raden Asnawi Kudus, Kiai Nawawi Pasuruan, Kiai Ridwan Semarang, Kiai Maksum Lasem, Kiai Nahrowi Malang, Kiai Ndhoro Munthah Bangkalan, Kia Abdul Hamid Faqih Gresik, Kiai Abdul Halim Cirebon, Kiai Ridwan Abdullah, Kiai Mas Alwi, dan Kiai Abdullah Ubaid dari Surabaya. Yang pakai torbus tinggi itu tentu Syeikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan yang disampingnya itu Syeikh Abdul ‘Alim Ash Shiddiqi.

O, itu Kiai Saleh Darat, Kiai Subeki Parakan, Kiai Abbas Buntet, Kiai Ma’ruf Kediri, Kiai Badlowi Lasem, Kiai Dalhar Magelang, Kiai Amir pekalongan, Kiai Mandur Temanggung. Yang asyik berbisik-bisik itu pastilah Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Kiai Machfudz Shiddiq, Kiai Dahlan dan Kiai Ilyas. Saya melihat juga Kiai Sulaiman Kurdi Kalimantan, Sayyid Abdullah Gathmyr Palembang, Sayyid Ahmad Al Habsyi Bogor, Kiai Djunaidi dan Kiai Marzuki Jakarta, Kiai Raden Adnan dan Kiai Masyud Sala, Kiai Mustain Tuban, Kiai Hambali dan Kiai Abdul Jalil Kudus, Kiai Yasin Banten, Kiai Manab Kediri, Kiai Munawwir Jogja, Kiai Dimyati Termas, Kiai Cholil Lasem, Kiai Cholil Rembang, Kiai Saleh Tayu, Kiai Machfudz Sedan, Kiai Zuhdi Pekalongan, Kiai Maksum Seblak, Kiai Abu Bakar Palembang, Kiai Dimyati pemalang, Kiai Faqihuddin Sekar Putrih, Kiai Abdul Latief Cibeber, Haji Hasan Gipo, Haji Raden Mochtar Banyumas, Kiai Said dan Kiai Anwar Surabaya, Kiai Muhammadun Pondohan, Kiai Siradj Payaman, Kiai Chudlori Tegalrejo, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Badruddin Honggowongso Salatiga, Kia Machrus Ali Lirboyo dan masih banyak kiai-kiai lain. Dan di tengah-tengah lautan Kiai dan tokoh NU itu hadir Hadratussyeikh bersila dengan agung, dengan wajahnya yang senantiasa tersenyum. Namun betapapun jernih wajah-wajah mereka, saya masih melihat sebersit keprihatinan yang getir. Karenanya pertanyaan pertama yang saya ajukan setelah berhasil mengatasi rasa rendah diri yang luar biasa.

Hadratussyeikh menjawab: “Cucuku kau benar, kami semua di sini alhamdulillah hidup dalam keadaan damai dan bahagia. Kalaupun ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti terus apa yang kamu lakukan dengan dan dalam jam’iyyah yang dulu kami dirikan. Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam’iyyah ini akan semakin kompak dan kokoh. Akan semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa, semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu kami telah meninggalkan bekal yang cukup. Jamiyyah dulu kami dirikan untuk mempersatukan ‘ulama Ahlussunnah Waljamaah dan para pengikutnya, tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengajarkan ajaran silam Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga khidmah kepada bangsa, negara dan umat manusia.”

“Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khittah kami telah berhasil dirumuskan secara jelas dan rinci, sehingga generasi yang datang belakangan tidak kehilangan jejak para pendahulunya. Sehingga langkah-langkah perjuangan semakin mantap. Tapi kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara cermat untuk kemudian diamalkan ? Kenapa malah banyak warga jam’iyyah yang kaget bahkan seperti lepas kedali ? Satu dengan yang lain saling bertengkar dan saling cerca. Tidak cukup sekedar berbeda pendapat (ikhtilaaf), saling ungkur-ungkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu’). Padahal mereka satu dengan yang lainnya bersaudara. Sebangsa. Setanah air. Se-agama. Se- ahlissunnah wal jamaahSe-jam’iyyah.”

Laa haulaa wa laquwwata illa billah….” gumam semua yang hadirin serempak, membuat tunduk saya semakin dalam. Dan saya merasakan berpasang-pasangan mata menghujam ke diri saya bagi pisau-pisau yang panas.

Sementara Hadratussyeikh masih melanjutkan dengan penuh kebapakan : “Yang sedang bertikai itu, sebenarnya masing-masing sedang membela kemuliaan apa? Mempertahankan prinsip Islam apa? Sehingga begitu ringan mengorbankan persaudaraan yang agung?”, “Sejak awal kan saya sudah memperingatkan, baik dalam mukaddimah Qanun Asasiy atau yang lainnya bahwa bahayanya perpecahan dan pentingnya menjaga persatuan.”

“Perbedaan pendapat mungkin dapat meluaskan wawasan, tapi tabaaghuudltahaasud, tadabur, dan taqathu’ hanya membuahkan kerugian yang besar dan dilarang oleh agama kita.”

Hadratussyeikh menarik nafas panjang, diikuti serentak oleh ribuan gunung Kiai. : “Laa haula wala quwwata illa billah…” “Lalu apa nasehat Hadratussyeikh ?” pertanyaan ini meluncur begitu saja tanpa saya sadari.

“Nasehatku lebih mendekatkanlah kepada Allah. Bacalah lagi lebih cermat Mukaddimah Qanun Asasiy dan Khittah Jam’iyyah. Fahami dan hayati maknanya, lalu amalkan ! Dan waspadailah provokasi kepentingan sesaat. Itu saja.

Mendengar nasehat singkat itu, saya tidak sengaja melayangkan pandangan ke wajah-wajah jernih berwibawa di sekeliling saya. Semuanya mengangguk lembut seolah-olah meyakinkan saya bahwa nasehat Hadratussyeikh itu tidaklah sesederhana yang saya duga.

“Dan belajarlah berbeda pendapat!” Seru sebuah suara yang ternyata suara Kiai Abdul Wahid Hasyim. “Berbeda pendapat dengansaudara adalah wajar. Yang tidak wajar dan sangat kekanak-kanakkan adalah jika perbedaan pendapat menyebabkan permusuhan di antara sesama saudara.”

“Washbir nafsaka ma’alladziina yad’uuna Rabbahum bilghadaati wal ‘asyiyi yuriduuna wajhaHu walaa ta’du ‘ainaka ‘anhum turiedu ziental-hayatid-dunya wala tuthi’ man aghfalNaa qalbahu ‘andzikriNaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuthaa.”(Dan besabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari mengharapkan keridhaan-Nya dan jangan palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharapkan gemerlap kehidupan dunia ini dan jangan ikutorang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta adalah keadaanya melampaui batas). QS Al Kahfi:28

-Allahu a’lam bishshawwab

Yogyakarta, 9 April 2017

(Desy Putri R  KMNU UGM/Arinf)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.