KH Mas Alwi : Penyelidik Isu Pembaharuan Islam Dan Pencipta Nama Nahdlatul Ulama

Kyai Mas Alwi adalah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama bersama Kyai Abdul Wahhab Hasbullah dan Kyai Ridlwan Abdullah dan lainnya, yang ketiganya bergerak secara aktif sejak NU belum didirikan. Beliaulah yang pertama mengusulkan nama Nahdlatul Ulama dalam versi riwayat keluarga Kyai Ridlwan Abdullah. Namun Kyai Mas Alwi hampir tak disebut dalam beberapa sejarah NU, hal ini dikarenakan beliau tidak memiliki keturunan dan dikeluarkan dari silsilah keluarga, sebagaimana yang akan disampaikan nanti.

Kelahiran Kyai Mas AlwiAnchor[1]

Tidak ada data yang pasti mengenai kelahiran Kyai Mas Alwi. Hanya ditemukan petunjuk dari kisah Kyai Mujib Ridlwan bahwa ketiga kyai yang bersahabat di masa itu, yakni Kyai Ridlwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Mas Alwi adalah orang-orang yang tidak terlalu jauh jaraknya dalam hal usia. Disebutkan bahwa di awal-awal berdirinya NU yakni tahun 1926, usia Kyai Ridlwan 40 tahun, Kyai Wahhab 37 tahun dan Kyai Mas Alwi 35 Tahun. Dengan demikian, Kyai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1890-an.

Kyai Mas Alwi merupakan putra Kyai Besar kala itu, yaitu KH Abdul Aziz yang masuk dalam keluarga besar Ampel, Surabaya. Saya juga belum menemukan data yang cukup mengenai masa kecil beliau dan silsilah keluarganya.

Pendidikan Kyai Mas Alwi

Ketiga kyai diatas, yakni Kyai Ridlwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Mas Alwi, bukan sosok yang baru bersahabat ketika mendirikan sekolah Nahdlatul Wathon, namun jauh sebelum itu, ketiganya telah bersahabat sejak berada di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura.

Kyai Ridlwan mengisahkan kepada putranya Kyai Mujib bahwa Kyai Wahab dan Kyai Mas Alwi adalah dua kyai yang sudah terlihat hebat sejak berada di pondok, baik kecerdasan  dan kepandaiannya. Kyai Mujib kemudian menyebutkan bahwa dua kyai tersebut kemudian melanjutkan ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, kemudian ke Makkah termasuk juga Kyai Ridlwan Abdullah.

Perjuangan Kyai Mas Alwi

Kyai Mas Alwi bersama Kyai Ridlwan Abdullah, Kyai Wahab Hasbullah dan saudara sepupunya Kyai Mas Mansur, turut membidani berdirinya sekolah Nahdlatul Wathon, dan Kyai Mas Mansur lah yang menjadi kepala sekolah sebelum terpengaruh pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang akhirnya menjadi pengikut Muhammadiyah.

Namun, setelah tersiar kabar bahwa Kyai Mas Alwi ikut kerja dalam pelayaran, maka beliau dipecat dari sekolah tersebut, akan tetapi sepulang dari Eropa beliau diterima kembali mengajar di Nahdlatul Wathon, dan justru Kyai Mas Mansur yang akhirnya dipecat oleh para kyai karena telah terpengaruh pemikiran Muhammad Abduh.

Berlayar Mencari Hakikat “Renaissance”

Saat merebaknya isu “Pembaharuan Islam” (Renaissance), Kyai Mas Mansur, adik sepupu Kyai Mas Alwi mempelajarinya ke Mesir, kepada Muhammad Abduh. Maklum, Mas Mansur adalah keluarga yang mampu secara finansial sehingga beliau dapat mencari ilmu ke Mesir. Sementara Kyai Mas Alwi bukan dari keluarga yang kaya. Oleh karenanya Kyai Mas Alwi berkata: “Apa sih yang sebenarnya dicari oleh Adik Mansur ke Mesir? Renaissance atau pembaharuan itu tempatnya di Eropa”. Maka beliau pun berusaha untuk mengetahui apa sebanarnya renaissance ke Eropa, saat itu beliau pergi ke Belanda dan Prancis dengan mengikuti pelayaran.

Di masa itu, orang yang bekerja sebagai pelayaran mendapat stigma yang sangat buruk dan memalukan bagi keluarga, sebab pada umumnya pekerja pelayaran selalu melakukan perjudian, zina, mabuk dan lain sebagainya. Sejak saat itulah keluarga Kyai Mas Alwi mengeluarkannya dari silsilah keluarga dan ‘diusir’ dari rumah.

Setiba di tanah air, Kyai Mas Alwi dikucilkan oleh para sahabat dan tetangganya. Akhirnya Kyai Mas Alwi membuka warung kecil di daerah Jl. Sasak, dekat wilayah Ampel untuk berjualan memenuhi hajat hidupnya. Mengetahui beliau datang, Kyai Ridlwan mendatanginya, lalu Kyai Mas Alwi berkata: “Kenapa Kang, sampean datang kesini, nanti sampean akan dicuci pakai debu sama kyai-kyai lainnya, sebab warung saya ini sudah dianggap mughalladzah?”

Kyai Ridlwan bertanya: “Dik Mas Alwi, sebenarnya apa yang sampean lakukan sampai pergi pelayaran ke Eropa?”. Kyai Mas Alwi menjawab: “Begini Kang Ridlwan. Saya ini ingin mencari renaissance, apa sih sebenarnya renaissance itu? Lah, Adik Mansur mendatangi Mesir untuk mempelajari renaissance itu salah, sebab tempatnya renaissance itu ada di Eropa. Coba sampean lihat nanti kalau Din Mansur datang, dia pasti akan berkata begini, begini dan begini…” (maksudnya adalah kembali ke al-Quran-Hadis, tidak bermadzhab, tuduhan bid’ah dan sebagainya)

Beliau melanjutkan: “Renaissance yang ada di Mesir itu sudah tidak murni lagi Kang Ridlwan, sudah dibawa makelar. Lha orang-orang itu mau melakukan pembaharuan dalam Islam, apanya yang mau diperbaharui, Islam itu sudah sempurna, sudah tidak ada lagi yang diperbaharui. Al-Quran sudah jelas menyatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً ﴿المائدة : ٣﴾

“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (al-Maidah: 3)

Inti dari perjalanan beliau ke Eropa adalah menemukan hakikat renaissance yang ada dalam dunia Islam adalah upaya pecah belah yang dihembuskan oleh dunia Barat, khususnya Belanda dan Prancis. Kyai Ridlwan bertanya: “Dari mana sampean tahu?” Kyai Mas Alwi: “Karena saya berhasil masuk ke tempat-tempat perpustakaan di Belanda”. Kyai Ridlwan bertanya lebih jauh: “Bagaimana caranya sampean bisa masuk?” Kyai Mas Alwi menjawab: “Dengan menikahi wanita Belanda yang sudah saya Islam-kan. Dialah yang mengantar saya ke banyak perpustakaan. Untungnya saya tidak punya anak dengannya”.

Setelah Kyai Mas Alwi menyampaikan perjalanan beliau ke Eropa secara panjang, maka Kyai Ridlwan berkata: “Begini Dik Alwi, saya ingin menjadi pembeli terakhir di warung ini”. Kyai Mas Alwi menjawab: “Ya jelas terakhir, Kang Ridlwan, karena ini sudah malam”. Kyai Ridlwan berkata: “Bukan begitu. Sampean harus kembali lagi ke sekolah Nahdlatul Wathon. Sebab saya sekarang sudah tidak ada yang membantu. Kyai Wahab sekarang lebih aktif di Taswirul Afkar. Sampean harus membantu saya”.

Di pagi harinya, sebelum Kyai Ridlwan sampai di sekolah, ternyata Kyai Alwi sudah ada di sekolah Nahdlatul Wathon. Kyai Ridlwan berkata: “Kok sudah ada disini?” Kyai Alwi menjawab: “Ya Kang Ridlwan, tadi malam saya tawarkan warung saya ternyata laku dibeli orang. Makanya uangnya ini kita gunakan untuk sekolah ini”. Kedua kyai tersebut kemudian kembali membesarkan sekolah Nahdlatul Wathon.

Nama “Nahdlatul Ulama”

Sebagaimana disebutkan dalam kisah berdirinya NU oleh Kyai As’ad Syamsul Arifin bahwa sebelum 1926 Kyai Hasyim Asy’ari telah berencana membuat oraganisasi Jam’iyah Ulama, atau perkumpulan ulama. Saat didirikan dan mau diberi nama, para kyai berpendapat dan mengusulkan nama-nama yang berbeda. Namun Kyai Mas Alwi mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Kyai Hasyim bertanya: “Kenapa ada Nahdlah, kok tidak Jamiyah Ulama saja?” Kyai Mas Alwi menjawab: “Karena tidak semua kyai memiliki jiwa Nahdlah (bangkit). Ada kyai yang sekedar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jamiyah”. Akhirnya para kyai menyepakati nama Nahdlatul Ulama.

Makam Kyai Mas Alwi

Belum ditemukan pula data tentang kapan Kyai Mas Alwi wafat, yang jelas saat ini makam beliau terletak di pemakaman umum di Rangkah, yang sudah lama tak terawat bahkan pernah berada dalam dapur pemukiman liar yang ada di tanah kuburan umum. Saat itu KH Asep Saefuddin, Ketua PCNU Kota Surabaya 1995-2000, mengerahkan Banser untuk menertibkan rumah-rumah yang merambah ke makam Kyai Mas Alwi, maka sejak saat itu makam beliau mulai dibangun dan diberi pagar. Sejak saat itu pula dalam setiap Harlah NU, Pengurus Cabang NU Kota Surabaya kerap mengajak MWC dan Ranting se Surabaya untuk ziarah ke makam para Muassis khususnya di wilayah Surabaya.

Pertanyaannya, mengapa beliau dimakamkan di pemakaman umum? Tidak ada jawaban pasti, namun kemungkinannya karena beliau telah dikeluarkan dari silsilah keluarga beliau.

Beberapa bulan yang lalu ada sebagian pembaca Aula yang mengusulkan agar makam beliau dipindah ke kawasan Ampel. Berita ini telah diterima oleh PCNU Surabaya dan akan ditindaklanjuti. Tetapi seandainya prosesnya menemukan jalan buntu, maka PCNU akan berencana memindah makam beliau ke kawasan makam Jl. Tembok, diletakkan di sebelah makam sahabatnya, Kyai Ridlwan Abdullah. Di area makam tersebut telah dikebumikan beberapa tokoh NU, diantaranya adalah KH Abdullah Ubaid dan KH Thohir Bakri (dua tokoh pendiri Ansor), Kyai Abdurrahim (salah satu pendiri Jamqur atau Jamiyah Qurra’ wal Huffadz), Kyai Hasan Ali (Kepala logistik Hizbullah), Kyai Amin, Kyai Wahab Turham, Kyai Anas Thohir, Kyai Hamid Rusdi, Kyai Hasanan Nur dan sebagainya.

Sosok Besar Yang Terlupakan

Masing-masing para Muassis memiliki kiprah besar dalam berdirinya Nahdlatul Ulama. Hadlratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari adalah Rais Akbar, ulama besar dan telah merumuskan Qanun Asasi bagi NU. Kyai Wahab Hasbullah adalah penggerak utama Jamiyah NU, yang telah berhasil menyamakan pandangan ulama Nusantara akan pentingnya Jamiyah bagi para ulama, beliau pula yang telah menata organisasi ini dengan baik dan mampu meneruskan sepeninggal KH Hasyim Asy’ari.

Kyai Bisri Syansuri juga ulama besar dan keahliannya di bidang fikih tidak diragukan, beliau pula yang telah meneruskan kepemimpinan Syuriah sepeninggal Kyai Wahhab Hasbullah. Kyai lain yang sangat penting juga adalah Kyai Ridlwan Abdullah, yang menciptakan lambang NU dengan hasil istikharahnya sekaligus mampu menjelaskan makna simbol-simbol lambang NU di hadapan penjajah Belanda saat Congres I NU di Surabaya, sehingga Belanda membatalkan untuk membubarkan NU jika saja simbol lambang NU mengarah pada perlawanan Belanda.

Tidak kalah besar kiprahnya adalah Kyai Mas Alwi. Beliaulah yang menemukan akar masalah utama mengapa Jamiyah Ulama (yang akhirnya bernama NU) harus didirikan, yaitu adanya isu pembaharuan yang sebenarnya dihembuskan dari dunia Barat. Pengorbanan beliau dalam masalah ini tidak main-main, yakni menanggung resiko besar harus dikeluarkan dari daftar keluarga sekaligus hak warisnya. Namun beliau tetap melanjutkan tekadnya tersebut. Kyai Mas Alwi pula yang telah mengusulkan nama “Nahdlah” dalam organisasi ulama ini. Bisa kita bayangkan besarnya nama “Nahdlatul Ulama” dengan sekedar nama Jamiyah Ulama.

Wa akhiran, sudah selayaknya kita selalu menyebut nama Kyai Mas Alwi saat nama para Muassis NU lainnya disebut. Semoga Allah menjadikan perjuangan Kyai Mas Alwi dan Muassis lainnya sebagai perjuangan jariyah mereka. Semoga Allah mengangkat derajat mereka dan memberi keberkahan kepada para pejuang NU saat ini, sebagaimana Allah telah melimpahkan keberkahan kepada mereka semua. Amin.

Anchor[1] Ditulis oleh Ma’ruf Khozin, Wakil Katib Syuriyah NU Kota Surabaya dan Anggota LBM PWNU Jatim. Riwayat ini berdasarkan kisah langsung dari Gus Sholahuddin Azmi, putra Kyai Mujib Ridlwan dan cucu Pendiri NU Kyai Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) .

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.