Diriku Mengalir dalam KMNU

Curhatan Pendek Mahasiswa Ketar-Ketir

Makgregah. Aku terbangun dari impian menjadi seorang mahasiswa; ketar-ketir, khawatir. Setiap pagi hampir aku lalui dengan perasaan yang sama. Detik-detik menjelang keberangkatanku dari kabupaten kecil di pelosok Jawa Tengah untuk kuliah ke “tanah orang” di Jawa Barat. Aku meraba, apakah mimpiku, menjadi mahasiswa,  benar-benar akan terwujud? Dalam benakku menjawab, “Iya, tapi Aku ketar-ketir”.

Ketar-ketir. Banyak yang aku khawatirkan ketika akan memulai babak baru dalam kehidupan ini, salah satunya adalah dalam hal beragama. Isu-isu tentang radikalisme agama dan intoleransi yang mengakar di lingkungan kampus sudah tidak asing lagi didengar. Misalnya, fenomena seorang pemuda yang kembali pulang dari kampus ke kampung halamannya mendadak jadi ustaz yang menolak tradisi ini dan itu atau fenomena mahasiswa yang “menghilang” entah kemana setelah diketahui mengikuti organisasi nganu yang menggunakan agama sebagai alat menarik para simpatisan. Sebagai orang yang sangat awam terhadap agama, merenungi fenomena-fenomena itu, perasaanku tambah ketar-ketir.

            Ketar-ketir. Sebelum keberangkatan, aku meminta saran kepada guru agamaku di SMA, Pak Aziz namanya. Hal ini kulakukan demi untuk meneduhkan kekhawatiranku. Aku memulai percakapanku,

“Pak Aziz, alhamdulillah saya di terima di *nama universitas*”

“Selamat, Han. Benar sudah diterima?”

“Iya, pak, tinggal verifikasi. Terima kasih atas doa dan dukungannya, Pak.”

Sip, tetep moderat.”

Bismillah. Saya kira, saya akan diterjang arus disana.”

“Mengalir, jangan terhanyut. Tetap Aswaja.”

Itulah kuncinya, tetap moderat dan Aswaja. Moderat mungkin tidak asing tetapi apa itu Aswaja? Aswaja adalah hal yang benar-benar baru untukku, makna kata inilah yang harus aku temukan di fase kehidupan ini.

***

            Makgregah. Malam itu, perasaan aneh meluber di dadaku ketika mendengar sahutan suara merdu alunan rebana diiringi suara indah berisi lantunan sholawat Nabi dalam satu agenda rutinan yang diadakan oleh Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) di kampusku. Perasaan semacam suwung, melankolis, bahagia, dan rindu kepada kanjeng nabi Muhammad Saw. Bagaimana bisa aku mendapati hal semacam ini setelah beberapa minggu menjadi mahasiswa? Perasaan yang benar-benar baru.

Bagaimana aku bisa mencapai babak ini, disaat aku sendiri masih bingung memahami apa itu takdir. Di kampus ini, aku “menemukan dan ditemukan” KMNU yang akhirnya mengenalkanku tentang arti moderat dan Aswaja. Tetapi tetap saja aku belum paham, masih ada ketar-ketir. Sepertinya ada makna yang “kurang” dari Aswaja yang aku pahami.

Memang saya belum begitu paham dengan sebenar-benarnya pemahaman dalam hal agama, apalagi dalam mengamalkannya. Saya memang bukan santri atau lulusan madrasah dan bukan “NU dari lahir”, tetapi saya bahagia dengan keaswajaan dan sifat kemoderatan Nahdlatul Ulama. Makna-makna itulah yang terus aku cari di kampus ini melalui KMNU bahkan di sepanjang aliran hidupku. Tetap aku ingat kata guruku sepanjang hidup, mengalir jangan terhanyut. Kali ini, diriku mengalir di KMNU berharap tidak perlu ada ketar-ketir  lagi. (Hani Ristiawan/AM)

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.