Bolehkah Wanita Haid Beraktivitas di Masjid?

Oleh: Teguh Darmawanto

(Presidium Nasional 3/ IMAN PKN STAN)

 

Dewasa ini semakin banyak Masjid yang berdiri di sekitar kita. Hal ini juga berbanding lurus dengan banyaknya kegiatan-kegiatan positif di masjid, baik kegiatan agama, sosial, maupun kegiatan lainnya. Namun terkadang ketika kita ingin mengikuti suatu kegiatan, kita (para wanita) ternyata sedang haid. Padahal kita sangat ingin mengikuti kegiatan tersebut. Terus gimana dong? Boleh ngga ya wanita haid berdiam di masjid?

Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Nabi Saw yang mengharamkannya. Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalil pengharamannya adalah sabda Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” [HR. Abu Dawud].

Yang dimaksud berdiam (al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.

Adapun pendapat yang mengatakan boleh berdiam di Masjid, diantaranya Imam Dawud Azh-Zhahiri. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut misalnya), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid.

Pendapat yang membolehkan itu mengatakan jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab Nabi Saw hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas.

Nash tersebut juga bersifat mutlak, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu akan dapat mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid. Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) —misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini diambil dari kaidah ushul fiqh: Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlaqihi mâ lam yarid dalil at-taqyid “ (Lafazh) mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).

Bagaimana jika sekadar lewat di masjid?

Adapun jika seorang wanita haid sekadar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid. Dasar dalilnya, Rasulullah Saw pernah meminta Sayyidah ‘Aisyah untuk membawa khumrah (sejenis sajadah) yang ada di masjid. Lalu Sayyidah ‘Aisyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” [HR. Muslim].

Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah ra pernah berkata, “Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” [HR. an-Nasa’i).

Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam di masjid. Adapun jika sekadar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid (bisa menggunakan pembalut misalnya).

Lalu bagian mana saja yg disebut masjid? Apa saja batasan-batasan masjid itu?

Definisi secara umum, Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan sholat jama’ah bagi orang umum.

Yang dimaksud sholat jama’ah adalah terutama sholat jama’ah lima waktu dan sholat Jum’at. Namun termasuk juga sholat jama’ah sunnah seperti sholat Tarawih dan sholat Idul Fitri atau Idul Adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjama’ah lima waktu tetapi tidak digunakan sholat Jum’at, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami’, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai sholat Jum’at. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan sholat berjama’ah untuk orang umum. Maka terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya, meskipun tempat itu tidak disebut sebagai Masjid

Apakah semua areanya disebut masjid? Bagaimana dengan bagian teras/serambi masjid, atau masjid yang ada ruang sidang, ruang rapat, ruang takmir, aula? Apakah itu juga termasuk kategori masjid?

Untuk menjawab itu, maka kita perlu masuk ke definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk sholat (mawadhi’ ash-sholat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).

Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya.

Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid?

Maka dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi’ ash-sholat (tempat-tempat sholat). Sehingga disana tidak berlaku hukum-hukum masjid.

Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan sholat jama’ah dan kadang tidak? Maka yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai sholat jama’ah, atau lebih sering tidak dipakai untuk sholat jama’ah. Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.

Yang seperti itu diambil dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah).

Wallahu a’lam bishshawaab.

 

Sumber :

  1. Bughyatul Mustarsyidin
  2. Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib)
  3. Kifayatul Akhyar
You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.