“Bahkan Aku Lupa Kapan Terakhir Kali Bicara dengan Bapak “

Bapak!

Terasa angin sepoi membasuh seluruh ruang tak berdinding. Beberapa pohon masih fasih mengurai udara, sebagian lagi terus produktif menyimpan air. Inilah suara gemericik air, mengantar air matamu ke hilir. Bersama gelombang kenangan, separuh dialog dengan masa lalu menjemu di ujung sore. Lengkap dengan desas-desus kepodang. Sesap!

Barangkali kesempatan untuk mengambil rencana jauh lebih baik, ya, akan kutemukan jawaban paling tepat.

Soalan bapak! Orang laki-laki yang pertama dikenali anaknya. Ia menjelma tangguh dan gagah. Berparas segala bisa. Segala kehormatan dan ketundukan mengajak kita pada memahami muasal nama.

Masih di umbul Sidomukti, antara pembangunan jembatan dan jalan setapak. Seorang gadis bertanya! Bagaimana menciptakan jalan? Pada dasarnya ada dan tidak ada adalah kesiapan yang baik. Namun, suatu persiapan selalu memiliki jalan lurus sementara kelok dan persimpangan mengikuti.

Tidak! Aku melihat jalan ke Yogyakarta dari sepeda motor yang bapak beli. Kelokan sawah, turunan sungai, hingga tanjakan gunung menghimpit perih kekosongan kami. Aku tahu kapan kesediaan dan kelapangdadaan ini mengunjungi. Nyatanya sampai sini juga masih terus ngedumel.

Jika, kita bepergian jauh mengendarai kapal. Suatu lorong mengantar barang banyak yang dibawa kita terseok ombak dan di anjungan kita terus tersipu samudera dan langit.

Dunia milik Tuhan. Bapak? Juga milik Tuhan.

Sampai kapanpun sawah, lautan, dan langit menjadi kekayaan terkasih tanpa batas. Ia menjelma angin. Menyapu siapa saja yang hidup.

Kini, tahun yang serak ditimpa sinar redup. Awan abu-abu dan pagi yang hampir hilang. Menyemayamlah bersama gerimis dan petir akan menggelegar di batas pergantian musim. Menyatulah dengan cuaca sebab rindu bisa datang bahkan saat kemarau menjadi.

Perihal cerita yang ganas, seorang laki-laki akan melihat hidupnya waktu di tubuh semesta. Kupu-kupu bermekaran dari kepompong dan lebah-lebah bergotong royong bersama semut-semut. Mereka saling membaca alam. Kemudian, Tuhan menjadi warna jingga. Tuhan bersama sore menyajikan malam yang membuai. Seseorang dibelai rasa kantuk dan seseorang berhasil memejam. Ia rebah dan menang atas hari yang panjang.

Perihal cerita awal. Perihal bapak!

Ia terseok batu cadas yang mengeram di sepanjang sungai. Ia bekerja sebagai pemikul ketabahan saat matahari menyengat. Ia menjelma air saat bulan pasang badan. Membaur, menyatu kedalam malam.

Suatu percakapan menemui titik terang. Dan tindakan yang terlahir dengan dialog menjadi wirid yang bermekaran di taman. Ia tumbuh.

Hingga saat ingatan terbangun. Tuhan kembali berwarna abu-abu. Saat bapak tidak kembali menyajikan seteguk air penutup malam. Ia membalikkan tanah, mengubur segala cemas dan air mata. Sementara sisa percakapan semalam masih terbungkus rapi di ruang dapur. Ia tidak akan kembali lagi mengambil segelas air. Ia telah tunai.

Seorang anak terhentak, ia telah menjadi dewasa! Ia telah memegang obor di tangan kiri. Hari hampir gelap namun ia belum mandi.

Oleh : Fadhil ( KMNU UII )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *