KH. SAHAL MAHFUDH PAKAR FIKIH YANG FENOMENAL DARI KAJEN

KH. SAHAL MAHFUDH

PAKAR FIKIH YANG FENOMENAL DARI KAJEN

Oleh: Alditta Nisa

Cahaya penuntun di luas belantara fikih nan rimbun, sesosok kiai yang dikenal sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 2000 hingga 2014 menyimpan pengalaman yang sangat menarik. Saat beliau akan memasuki gedung perhelatan Muktamar Ke-28 Nahdlatul Ulama (NU) di Yogyakarta tahun 1989, sang kiai dilarang masuk oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser). “sampeyan siapa?” Salah satu dari Banser mengulurkan jabat tangan sembari bertanya, “kula Sahal (saya Sahal),” demikian beliau menjawab. Banser tersbut merasa heran. Sebelumnya, ia sudah diberitahu oleh panitia bahwa Kiai Sahal akan segera hadir. Namun, ia tidak yakin dengan seseorang yang sedang berdiri di hadapannya saat itu adalah seseorang yang dinantikan. “Kiai Sahal Mahfudh kok tampilannya begini,” pikir sang Banser. Benar saja, Kiai Sahal datang ke acara tersebut memakai pakaian sederhana. Tidak mengenakan pakaian yang sewajarnya kiai dan ulama lainnya seperti bergamis, bersorban, dan berudeng.

Sederhana dan ringkas. Itulah salah satu idiom yang tertera dalam diri Dr.  (HC). KH. Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh. terlahir dengan nama Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd Salam Alhajaini dari pasangan Kyai Mahfudz bin Abd Salam Alhafidz (adik sepupu salah satu pendiri NU yakni K.H.M. Bisri Syansuri) dan Nyai Hj Badi’ah pada tanggal 17 Desember 1937 di Desa Kajen, Margoyoso, Pati. Beliau merupakan anak ketiga dari enam bersaudara.

Kyai Ahmad Sahal Mahfudh dibesarkan dalam lingkungan pesantren kemudian mengabdi di pesantren. Sehingga, karena dikelilingi dengan kebudayaan santri, membuat Sahal kecil terbiasa dengan didikan ala pesantren yang mengedepankan disiplin penguasaan ilmu-ilmu agama. Dedikasinya kepada pesantren, masyarakat, terutama ilmu fikih tidak pernah diragukan. Tak heran bila beliau sering  disebut sebagai seorang begawan fikih sosial dari Kajen. Ia menguatkan tradisi dengan ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fikih ditambah keserasian dengan akhlak yang diajarkan dari ulama tradisional. Dalam istilah pesantren, sama halnya dengan semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).

Setelah belajar di bawah asuhan kedua orang tuanya, Sahal muda beringsut untuk belajar pada Kiai Muhajir di Pesantren Bendo, Kediri. Kemudian hijrah ke Sarang, Rembang, untuk mengaji di bawah asuhan Kiai Zubavir. Setelah menuntaskan dahaga keilmuannya di Sarang, Sahal melanjutkan petualangan intelektual ke Saudi Arabia. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani, ulama kharismatik yang menjadi guru bagi kiai-kiai dari Indonesia.

Tidak seperti ulama-ulama pesantren yang biasanya berdakwah melalui ceramah dan pengajian, Kiai Sahal lebih memilih tulisan sebagai wahana untuk mengutarakan gagasan bahkan sebagai media perjuangan. Hal ini terinsipirasi sebab Beliau juga termasuk sosok yang gemar membaca buku, terbukti di rumahnya terdapat 1.800  koleksi buku yang dimilikinya. Tidak hanya bidang agama yang dipelajari, namun bacaan lain seperti psikologi hingga novel detektif pun beliau baca. Sehingga, karena hobinya tersebut, membuat dirinya berpikir produktif untuk menghasilkan karya-karya religius dari permenungannya.

Selain keluasan bacaannya yang menembus sekat-sekat disiplin keilmuan, yang menarik dari beliau adalah kegigihannya dalam memperjuangkan gagasan fikih sosial dengan persoalan bagaimana agar fikih bukan semata didudukkan sebagai “kebenaran ortodoksi”, akan tetapi dijadikan sebagai wahana “pemaknaan sosial”. Dalam pandangan sang tokoh, fikih sebagai kebenaran ortodoksi berujung pada pola “mendudukkan realitas kepada kebenaran fikih”. Sebaliknya, fikih sebagai sarana pembanding dan penyanding dalam batas kehidupan sosial kemasyarakatan. Cara pandang yang sedemikian itu, menjadikan Kiai Sahal dikenal dengan ulama yang mempunyai pemikiran.jeli dan tangkas serta aktif dalam menyikapi fenomena sosial yang kontroversial. Belum genap berusia 40 tahun, dirinya semakin menunjukkan kepintarannya dalam forum fikih. Seperti dalam siding-sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya. Perhatiannya untuk mengupayakan gagasan fikih sosial dalam bingkai gerakan kemasyarakatan ditempuh dengan, salah satunya, bergabung dalam proyek pengembangan masyarakat oleh LP3ES.

Tahun 1963, Kiai Sahal mulai mepemimpin pesantren yang didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910, dengan diberi nama Pesantren Maslakul Huda Putra yang berada di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Selaku pemimpin pesantren, beliau dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU. Oleh karena itu, mampu mengantarkan ulama tersebut menjadi Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah (sejak 1989). Pada tahun 1968 Kyai Sahal menikah dengan Hj Nafisah binti KH Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras, Jombang dan memiliki putra bernama Abdul Ghofar Rozin. Selain itu, sikapnya yang mencolok ialah mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Kiai Sahal pun pernah bergabung dengan sejumlah institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, diantaranya menjadi anggota BPPN (Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional) selama dua periode dari tahun 1993-2003.

Pada tanggal 26 November 1999, untuk pertama kalinya, sang pakar fikih tersebut dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999- 2009), mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih dari 30 juta orang. Dengan pengalaman 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, KH Sahal juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Bulan Juni 2000 sampai tahun 2005 dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010. Ia semakin bersinar dengan dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (18 Juni 2003).

KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz, menghembuskan napas terakhirnya pukul 01.05 WIB dini hari, Jumat 24 Januari 2014 di kediamannya komplek Rumah Sakit Dr. Kariadi dalam usia 78 tahun. Begawan fikih sosial itu tidak hanya meninggalkan keteladanan dan kisah kebijaksanaan, namun juga warisan keilmuan yang begitu mendalam.

Comments (0)
Add Comment