-Internalisasi Adab dan Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari-
Era digitalisasi acapkali menjadi salah satu faktor eksternal terjadinya sebuah degredasi moral pada suatu generasi. Satu atau dua masa generasi berusia produktif merupakan aset terpenting dalam lingkup negara yang beragam suku, budaya, bahasa, dan agama. Tentu dengan catatan generasi usia produktif yang selaras dengan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika suatu generasi usia produktif tidak dibekali dengan pembentukan karakter yang luhur baik dari sisi religius maupun norma-norma bijak, tentu akan mempengaruhi bonus demografi ke depannya.
Telah menjadi problematika bersama ketika menyaksikan laporan pewarta di salah satu bahkan beberapa stasiun televisi seperti meningkatnya kasus kriminalisasi, penistaan, pornografi/aksi, hingga korupsi. Oknum yang terjerat kasus tidak hanya dari kalangan petinggi negara, bahkan telah menjamah ke berbagai lini masyarakat desa.
Di Indonesia, nilai-nilai luhur yang tidak bertentangan dengan syariat Islam amat dijunjung tinggi. Hal ini tiada lain bertujuan sebagai wujud pembentukan karakter umat yang secara berkala dan berkelanjutan. Sejatinya syariat dan adat dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Islam khususnya sehingga tujuan pembentukan karakter umat tidak akan menjadi wacana belaka. Pada kasus ini penulis akan menjabarkan mengenai internalisasi nilai-nilai luhur sehingga dapat dijadikan referensi mencetak generasi yang beradab sekaligus berakhlak di kalangan muslim.
Sebelum lebih jauh membahas ihwal adab dan akhlak di kalangan muslim, terlebih dahulu mengulas kembali mengenai perbedaan adab dan akhlak. Apabila ditilik secara tata bahasa, keduanya berasal dari akar kata (morfologis) dan makna (semantis) yang berbeda. Walaupun realita di kalangan masyarakat umum, istilah adab dan akhlak dimaknai sama, yaitu perujukan terhadap sifat yang terpuji dan mulia.
Adab, berarti perilaku baik maupun buruk yang diperoleh dari sebuah proses pembelajaran atau pembiasaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adab bukan termasuk perilaku fitrah atau diperoleh secara tiba-tiba. Terdapat proses yang panjang dalam membentuk adab. Orang yang memiliki budi pekerti baik atau sopan santun disebut “beradab/husnul adab”, sedangkan kebalikannya orang yang tidak berperangai bagus dikenal dengan “tidak beradab/su’ul adab”. Dilansir dari artikel, Hidayat (2020) mendefinisikan adab (baik) sebagai nilai-nilai kemuliaan yang diperoleh melalui pembinaan, pendampingan, dan pengarahan (kalangan manusia pada umumnya) sehingga dapat pula menciptakan suatu peradaban.
Berbeda dengan akhlak, hakikatnya hanya ada dalam syariat Islam. Hal ini disebabkan proses pemerolehan akhlak merupakan nilai-nilai keutamaan, kemuliaan, kebajikan dari hasil beribadah kepada Allah SWT semata, Hidayat (2020). Akhlak tergolong sifat fitrah manusia mulia yang jelas berasal dari ketaatan beribadah dan menjauhi larangan-Nya. Meskipun dalam pengklasifikasian akhlak juga terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah (perangai baik) dan akhlak mazmumah (perangai buruk). Kholik (2—4: 2020) memberikan beberapa contoh mengenai akhlak mahmudah seperti ikhlas, sabar, syukur, jujur, rendah hati, dan amanah, sedangkan akhlak mazmumah seperti riya, tergesa-gesa, dengki, sombong, pelit, rakus, dan khianat.
Apabila antara adab (baik) dan akhlak (bagus) digambarkan dalam kehidupan nyata, maka orang Jepang (non-muslim) yang menerapkan budaya antre, tertib, disiplin, sopan santun, dan etos kerja tinggi dapat digolongkan sebagai orang yang beradab. Akan tetapi belum/bukan tergolong orang berakhlak sebab mereka non-muslim. Secara otomatis perbuatan zina, minum-minuman berakohol, narkoba, dsb berpeluang besar tetap mereka lakukan. Berbeda dengan seorang muslim yang telah berproses atau bahkan mencapai tingkatan saleh/salehah, sudah pasti tergolong orang yang berakhlak baik sekaligus beradab. Jika terdapat di lapangan seorang muslim yang telah disematkan orang berakhlak baik, namun tidak beradab, sejatinya ada kekeliruan pemahaman pada orang yang menyematkan predikat berakhlak tersebut atau justru nilai-nilai akhlak mahmudah yang dijalani oleh yang bersangkutan belum benar-benar diinternalisasikan, dalam artian masih sebatas formalitas, belum membekas.
Menukil dari firman Allah SWT. “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak agung”, (QS. Al-Qalam: 4). Dan dari hadits Nabi Muhammad SAW. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, (HR. Bukhari). Jika ditilik dari dua nukilan di atas yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits, jelas sudah seyogyanya seorang muslim tergolong umat yang beradab sekaligus berakhlak. Hal ini jelas tercermin keteladanan muslim ideal telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Meski tidak menutup kemungkinan realita baik di dunia maya maupun di dunia nyata, ada seorang muslim yang beradab, namun belum berakhlak.
Berikut beberapa faktor yang berpengaruh beserta langkah-langkah dalam pembentukan karakter seorang muslim yang beradab juga berakhlak yang dinukil dari ulasan dan terjemah Kitab Akhlaqul Lil Banin Jilid 1 karya Syekh Umar bin Ahmad Baraja. Faktor pertama adalah insting. Insting dapat juga disebut sebagai nurani, dalam artian sifat yang mendorong terjadinya suatu perbuatan oleh pelaku secara refleks. Keberadaan insting pada tiap individu sejatinya merupakan fitrah baik dari genetik maupun muncul secara tetiba dalam keadaan tertekan/terdesak. Walaupun demikian, insting tetap dapat dibentuk menjadi faktor yang positif dengan terus menerus diasah bersamaan tekad yang maksimal.
Selanjutnya faktor yang kedua yaitu pola dasar bawaan berupa rasa ingin tahu akan sesuatu. Rasa ingin tahu yang masih diambang batas normal dan tentu tidak menyalahi syariat dan kebiasaan baik yang berlaku di lingkup masyarakat. Namun, tidak heran jika di masa kini mulai bermunculan orang-orang yang belum/tidak dapat mengontrol rasa ingin tahu sehingga melampaui batas. Sifat seperti itu berkaitan erat dengan sebutan kepo, yakni rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan orang lain.
Kemudian, lingkungan atau tempat berinteraksi dalam sehari-hari beserta kebiasaan. Layaknya sebuah wadah, lingkungan berperan penting terhadap proses penentuan karakter seseorang. Hal ini tentu ditunjang dengan kebiasaan yang dilazimkan dalam rentan waktu yang cukup panjang. Pada bagian ini selaras dengan wasiat Nabi Muhammad SAW dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim yang artinya “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau dapat membelinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan wangi harum darinya, sedangkan pandai besi boleh jadi percikan api mengenai pakainmu dan setidaknya engkau mendapatkan bau asap yang tidak sedap”.
Lalu kehendak yang berarti suatu keinginan keras untuk mencapai tujuan. Kehendak berkaitan erat dengan pengorbanan atau perjuangan baik dari segi waktu, usia, materi, dsb. Pengorbanan yang berlandaskan tuntunan Nabi Muhammad SAW jelas tidak pantas disandingkan dengan istilah sia-sia. Hal ini disebabkan setiap usaha yang telah diiringi doa dan tawakal kepada Yang Maha Kuasa memiliki nilai-nilai kemuliaan di dalam hasilnya.
Terakhir, pendidikan yang berimbang antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Apabila tidak berimbang, penyimpangan-penyimpang rawan terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja oleh tiap individu. Pendidikan berperan penting menjadi daya topang kemaslahatan seorang muslim sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berakhlak. Pada bagian ini juga dipertegas oleh sebuah petuah dari cendekiawan muslim Indonesia, yaitu Buya HAMKA yang berbunyi “Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu agama tanpa mempelajari ilmu dunia, laksana balita yang merangkak sambil membawa lentera. Begitupun sebaliknya, orang yang mempelajari ilmu dunia tanpa mempelajari ilmu agama, bak orang buta yang pincang kakinya”.
Penjelasan faktor-faktor di atas dapat disimpulkan bahwa hakikatnya menjadi muslim yang beradab dan berakhlak tidak serta merta dihasilkan secara spontan. Beberapa faktor tersebut hanya menjadi gambaran umum mengenai pengaruh eksternal dan internal terhadap kepribadian seorang muslim itu sendiri. Perlu digarisbawahi, muslim ideal ialah pribadi yang senantiasa mengevaluasi diri, memperbaiki hasil evaluasi, dan menghindari sedini mungkin terhadap tindak tutur yang berpotensi mengarah pada perilaku su’ul adab dan akhlaqul mazmumah. Tidak heran jika menjaga hubungan sesama manusia (Hablum Minannaas) daripada menjaga hubungan dengan Allah (Hablum Minallah). Bukan berarti menggampangkan, melainkan interaksi dengan sesama manusia memiliki beragam reaksi. Ada saatnya terjadi kesalahpahaman dengan tindak tutur satu sama lain yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan aksen bahasa. Dalam hal ini amat penting mengimplementasikan nilai luhur yang tercantum di dalam peribahasa “Di mana bumi dipijak, di sana jua langit dijunjung”.
Setelah membahas faktor-faktor, dilanjutkan dengan langkah-langkah praktis menjadi muslim yag berkepribadian mulia, baik dalam segi adab maupun akhlak. Berikut uraian langkah-langkah menginternalisasikan nilai-nilai seputar adab dan akhlak yang termaktub di dalam kitab Akhlaqul Lil Banin Jilid I karya Syeikh Umar bin Ahmad Baraja. 1) Adab dan akhlak kepada Allah SWT dengan senantiasa memperbaiki ibadah baik mahdloh maupun ghairu mahdloh, meningkatkan ketakwaan kepada-Nya dengan menjauhi segala larangan dan mengerjakan semua perintah. Landasan utama sebelum berproses menjadi muslim yang berkepribadian baik ialah memperbaiki hubungan dengan Yang Maha Pencipta. 2) Adab dan akhlak kepada Nabi Muhammad SAW yang diwujudkan dengan selalu meneladai sifat-sifat beliau yang empat dalam keseharian, yaitu shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh. 3) Adab dan akhlak terhadap orang yang lebih tua, mulia, atau dituakan karena ilmunya seperti orang tua dan dewan guru/alim ulama, yakni dengan senantiasa menaati segala arahan serta bimbingannya. Semaksimal mungkin untuk tidak menyakiti beliau semua baik secara fisik maupun tutur kata. 4) Adab dan akhlak terhadap sesama atau yang lebih muda seperti teman sejawat dengan tetap menjaga norma yang berlaku dan tidak berlebihan dalam pergaulan, terlebih yang berpeluang menjerumuskan pada kemudaratan.
Oleh sebab itu, penting bagi tiap muslim yang ingin mencapai kedudukan sebagai seorang yang beradab sekaligus berakhlak untuk terlebih dahulu memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal dan langkah-langkah praktis dalam proses pembentukan karakter yang baik. Seyogyanya muslim yang ideal adalah muslim yang meneladai Nabi Muhammad SAW dalam keseharian. Hal ini lazimnya menjadi perhatian khusus ketika generasi muda atau usia produktif meningkat, namun minim yang mempunyai sikap integritas, totalitas, kerja tuntas, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Ketika kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan berbudi pekerti pertanda keberkahan dalam tiap usaha bernilai rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Terbukti dengan maraknya berbagai kasus pelanggaran peraturan baik di skala masyarakat umum hingga pejabat negara menujukkan terjadinya degredasi moral dan akal di Indonesia pada umumnya, umat Islam secara khususnya. Dengan demikian, perlu menjadi perhatian bersama dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pribadi tiap muslim di era digitalisasi dan globalisasi dengan berbagai pendekatan yang sesuai, termasuk pendekatan penginternalisasian adab dan akhlak yang penulis sampaikan.
Oleh : Muhammad Eka Arifansyah ( KMNU Universitas Sriwijaya )