Ada Apa Dengan Shalatku?

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Alhamdulillahilladzii ja’ala as-shalaata mi’raajal mu’miniin,

As-sholaatu was salaamu ‘alaa rasuulihi al-ladzi qurratu ‘ainihi fis shalaah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin

Al kisah ada seorang pemuda yang gemar melakukan maksiat. Pada suatu hari, ia ingin berhenti dari perilaku maksiatnya tersebut. Beragam upaya sudah ia coba agar dapat berhenti dari perilaku maksiatnya, namun tak membuahkan hasil. Suatu ketika pemuda tersebut melewati suatu masjid dan mendengar seorang ustadz yang berkata “sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” Mendengar perkataan sang ustadz, pemuda tersebut senang bak menemukan oase di tengah gurun pasir, ia menganggap mudah sekali rasanya hanya dengan melakukan shalat saja sudah bisa terbebas dari maksiat. Pemuda tersebut lalu mulai melakukan shalat, sehari, dua hari, sampai sebulan ia telah melakukan shalat namun ia masih melakukan kemunkaran. Ia pun bertanya “ada apa dengan shalatku?” Kenapa shalatku tidak bisa menjadikanku pribadi yang baik? Apakah ustadz itu berbohong? Dan seterusnya.

Seringkali kita hanya mendengar potongan suatu ayat, tidak secara utuh, bahkan terkadang ada yang mengambil potongan ayat untuk suatu kepentingan saja, baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. “sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar” merupakan terjemahan dari potongan ayat yang ke 45 surat Al-Ankabut yang berbunyi “utlu maa uuhiya ilaika minalkitaab wa aqimisshalaata, inna as-shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa’I wal munkar, wala dzikrullahi akbaru, wallahu ya’lamu maa tashna’uun” yang memiliki arti kurang lebih sebagai berikut “bacalah apa yang diwahyukan kepadamu dari al-kitab dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar, dan dzikir kepada Allah amatlah besar, dan Allah mengetahui apa yang kalian perbuat” (QS: Al-Ankabut 45)

Pada ayat tersebut terdapat kata utlu yang terambil dari kata talaa yatluu yang memiliki arti membaca untuk mengikuti berbeda dengan iqra’ yang terambil dari kata qara’a atau qarana yang berarti membaca untuk istiqra’ (penelitian). Allah tidak menyebut Al-Quran melainkan Al-Kitab yang terambil dari kata kataba yang berarti tulisan/kewajiban karena isi dari Al-Kitab (Al-Quran) merupakan kewajiban-kewajiban. Kata aqim (dirikanlah) terambil dari kata qaama, aqaama yang berarti melakukan sampai istiqamah maksudnya adanya kontinuitas dalam melakukan suatu kegiatan, seseorang yang akan  mendirikan gedung akan membangun gedung tersebut dari pondasi sampai dengan atapnya hingga menjadi suatu bangunan yang kokoh.

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga syarat minimal agar shalat menjadikan seseorang memiliki pribadi yang ihsan yaitu ilmu, ikhlas dan istiqamah. Ilmu merupakan hal penting ketika seseorang melakukan amal perbuatan. Seorang insinyur pesawat haruslah memiliki pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pesawat dari mulai inisiasi sampai dengan tahap akhir, pengetahuan mengenai material, aerodinamika, konstruksi, design pesawat dan lain-lain. Begitu juga dengan ibadah, seseorang harus memiliki pengetahuan terkait ibadah yang akan ia lakukan dari syarat dan rukunnya, karena syarat merupakan sesuatu yang dengannya suatu ibadah menjadi sah, dengan kata lain ketentuan yang wajib dipenuhi sebelum melakukan ibadah misalnya suci dari hadas sebelum melakukan shalat, sedangkan rukun merupakan suatu ketentuan yang harus dipenuhi ketika melakukan ibadah, misalnya membaca fatihah ketika shalat. Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata: “setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya ditolak tidak diterima”.

Selanjutnya yaitu ikhlas. Setiap amal yang dilakukan tanpa ilmu maka tidak akan sah dan setiap  amal yang tidak didasari dengan keikhlasan maka hanya akan bernilai nol. Syarat ketiga untuk mencapai pribadi yang ihsan adalah istiqamah dalam beribadah, kontinuitas dalam melakukan ibadah, sehingga ketika ketiga syarat tersebut sudah terpenuhi maka seseorang akan masuk kepada tahap ‘tanhaa ‘anil fahsyaa’I wal munkar’ yaitu tercegah dari perbuatan keji dan munkar atau dengan kata lain menjadi pribadi yang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“al muslimu man salimal muslimuuna min lisaanihi wa yadihi” yang artinya : Seorang muslim adalah orang yang muslim-muslim lain selamat (tentram) dari lisannya dan tangannya

Ayat tersebut tidak berhenti sampai disitu, Allah melanjutkannya dengan “wala dzikrullahi akbar”, sungguh dzikir kepada Allah amatlah besar, yaitu bukan hanya lidah dan tangannya saja yang tercegah dari kemunkaran, hati dan lidahnya pun senantiasa berdzikir kepada Allah.

Imam Abi Qasim ibn Hawazin Al-Qusyairi berkata:

“Dzikir merupakan unsur penting dalam perjalanan menuju Al-Haqq. Bahkan, dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali jika dia tekun dalam berzikir.”[1]

Ketika seorang berulang-ulang menyebut nama Allah, sifat-sifat Allah, hukum-hukum Allah dan lain-lain dengan lidah dan hatinya yang dengannya ia dapat mendekatkan diri kepada Allah maka ia akan sampai kepada tahap wallahu ya’lamu maa tashna’uun (Allah mengetahui apa yang kamu perbuat), sehingga menjadi pribadi yang ihsan yang setiap gerak-geriknya akan merasa diawasi oleh Allah.

Wallahu a’lamu bis shawab

(Mochamad Bukhori Zainun)


[1] Abu Qasim ibn Hawazin, Risalatul Qusyairiyah,hal.270

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.