ABU NAWAS DAN LAILATUL QADAR

Oleh: Adam Rouf Hidayat

KMNU UNILA/Departemen Nasional 5

Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).

Abu Nawas adalah sosok seorang penyair yang kritis, jenaka dan mempunyai masa lalu sebagai pemabuk. Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Abu Nawas adalah sosok yang kontroversial dan nekat namun ada sisi jenaka di dalam dirinya.dibalik kisahnya yang pernah terjerumus pada masa “gelap” seperti mabuk-mabukan. Ia mempunya pengalaman spiritual yang sangat mengesankan.

Konon, penyair Abu Nawas semula adalah penyair cabul, amoral, dan pemabuk ini sempat difatwa ”fasik” bahkan ”ateis” oleh ulama pada zamannya karena syair-syairnya yang amoral.

Kehidupan Abu Nawas berubah total menjadi Islami. Menurut suatu riwayat, setelah suatu malam pada bulan Ramadhan yang diyakini sebagai Malam Qodar (Lailatul Qadar), dalam keadaan “teler” ia didatangi seseorang tak dikenal. Orang itu berkata: “Ya Abu Hani! Idza lam takun milhan tuslih, fala takun zubabatan tufsid” (Hai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikan merusak hidangan itu).

Kata-kata itu sangat berkesan pada diri Abu Nawas. Ia menyadari kesalahannya selama ini, merasa dirinya bukan garam, tapi lalat. Ia pun bertobat dan meninggalkan perilaku tidak Islaminya. Ia menjadi seorang ahli ibadah, rendah hati, rajin i’tikaf di masjid. Syair yang sangat indah dan mempunyai makna yang sangat dalam diciptakan oleh Abu Nawaas yakni I’itiraf (pengakuan) dan sering kita dengar di masjid-masjid di Indonesia .

Abu Nawas termasuk seorang penyair yang bergajul. Namun pada akhir hayatnya ia bertaubat dari segala dosa-dosanya. Ia mengaku secara tulus di hadapan Tuhan tentang dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Pengakuan tersebut disenandungkan lewat sebuah syair.

Kedua bait syair itu berbunyi: Ilahi lastu lil Firdausi ahla # Wa la aqwa ala naril jahimi / Fa hab li taubatan waghfir dzunubi # Fainnaka ghafirudz dzanbil ‘azhimi.

(Tuhanku, aku bukanlah penghuni yang pantas surga-Mu. Aku pun tidak sanggup masuk neraka. Karena itu, bukalah pintu tobat-Mu. Ampunilah segenap dosaku. Karena sungguh Engkau ialah Dzat yang maha pengampun).

Leave A Reply

Your email address will not be published.